Selasa, 28 Mei 2013

Hadis Hukum Keluarga Lanjutan


Mata Kuliah              :           Hadis Hukum Keluarga 2
Dosen Pengampuh    :           Prof. Dr. Hj. Enizar,. M.Ag.

A.    Hadis Tentang Posisi Hakim
1.      Hadis Pertama
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ وَلِيَ اَلْقَضَاءَ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih dengan pisau." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. [1]
PENJELASAN:
Syarih berkata: Perkataan “disembelih tanpa pisau” itu oleh Ibnu shalah dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan kata “sembelih” yaitu dilihat dari segi makna. Karena dia akan berada diantara adzab dunia dan adzab akhirat. Adzab dunia (dalam arti kata kesengsaraan- pen), jika ia jujur; dan adzab akhirat kalau dia tidak jujur. Kata syarih berikutnya: hadis ini disampaikan sebagai peringatan buat para qadhi.[2]
2.      Hadis Kedua.
وَعَنْهُ رضي الله عنه قَالَ:قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى اَلْإِمَارَةِ, وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ, فَنِعْمَ اَلْمُرْضِعَةُ, وَبِئْسَتِ اَلْفَاطِمَةُ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "sesungguhnya kamu akan sangat berkeinginan menjadi pemimpin, sedangkan kekuasaan itu akan menjadi suatu pennyesalan nanti di hari kiamat. Oleh karena itu alangkah senangnya anak yang masih menyusu dan alangkah sedihnya anak yang disapih”  Riwayat Bukhari.[3]
B.     Tipologi Hakim
-          Hadis
عَنْ بُرَيْدَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: اِثْنَانِ فِي اَلنَّارِ, وَوَاحِدٌ فِي اَلْجَنَّةِ. رَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَقَضَى بِهِ, فَهُوَ فِي اَلْجَنَّةِ. وَرَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَلَمْ يَقْضِ بِهِ, وَجَارَ فِي اَلْحُكْمِ, فَهُوَ فِي اَلنَّارِ. وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ اَلْحَقَّ, فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ, فَهُوَ فِي اَلنَّارِ ) رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ [4]
Dari Buraidah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka." Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.
-          PENJELASAAN:
Perkataan “hakim itu ada tiga... dst.” Itu menunjukan suatu kebodohaan orang yang mau memangku jabatan ini padahal dia tidak mengerti dan menyeleweng, dengan itu dia akan masuk neraka.[5]
C.    Perlunya Kesetabilan Jiwa hakim.
-          Hadis
وَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( لَا يَحْكُمُ أَحَدٌ بَيْنَ اِثْنَيْنِ, وَهُوَ غَضْبَانُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ[6]
Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang menghukum antara dua orang dalam keadaan marah." Muttafaq Alaihi
-          PENJELASAAN:
Syarih berkata: Perkataan “janganlah seorang hakim memutuskan perkara... dst.” (Hadist 4971 kalau dibuku Kitab Naitul Athar) itu, oleh al-Muhallab dikatakan, bahwa sebab adanya larangan ini. Karena memutuskan hukum dalam keadaan marah itu kadang-kadang bisa menyimpang dari hukum sebenarnya. Itulah sebabnya, maka hal tersebut dilarang. Begitulah, sebagaimana dikatakan oleh para fuqahaul Amshar. Sedang ibnu Daqiqil ‘Id mengatakan: Bukan saja karena marah, bahkan termasuk juga keputusan yang diambil tanpa analisis yang mendalam dikarenakan sesuatu sebab, seperti ketika sedang lapar, haus, mengantuk dll. Yang ada hubunganya dengan masalah hati.
Sementara Jumrur juga berpendapat, bahwa kalau ada seorang hakim memutuskan hukum dalam keadaan marah. Tetapi ternyata hukum itu benar, maka hukumnya itu dipandang sah.[7]
Kesimpulan hadist:
1.      Disini terkandung kesimpulan bahwa seorang qadhi tidak boleh memutuskan perkara diantara dua orang yang berpekara, padahal dia dalam keadaan marah. Dikatakan didalam Al-Uddah Syarah Al-‘Umdah, “kami tidak mengetahui perbedaan pendapat tentang hal ini dikalangan ulama.”
2.      Alasan larangan tersebut, karena amarah dapat mengacaukan pikiran qadhi sehingga menghambatnya untuk mempertimbangkan dakwaan secara benar dan menelusuri keadaan.
3.      Berdasarkan makna ini, para ulama memperlakukan segala apapun yang menghambat qadhi dalam mempertimbangkan perkara dan yang dapat menganggu pikiran, berupa rasa lapar atau kenyang yang membuatnya tenang, atau kesusahaan yang membuatnya gelisa atau udarah dingin dan panas yang terlalu menyengat atau berbagi hal yang dapat menganggu perasaan dan pikirannya.
4.      Jika seorang qadhi memutuskan perkara dalam sebagian kondisi seperti ini dan keputusannya benar, maka keputusannya sah dan dapat dilaksanakan.
5.      Didalam hadist ini terkandung nasihat bagi orang muslim, terutama bagi ulil-amri, yang jika kedaan mereka baik dan lurus, maka keadaan orang muslim pun benar dan lurus. Menyampaikan nasihat dengan cara baik termasuk qurbahdan ketaatan yang paling utama, dan sekaligus merupakan sarana yang paling diharapkan untuk memperbaiki keadaan mereka.[8]
D.    Cara Kerja Hakim
-          Hadis
وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ, فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ, حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ اَلْآخَرِ, فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي. قَالَ عَلِيٌّ فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا بَعْدُ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ, وَقَوَّاهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
وَلَهُ شَاهِدٌ عِنْدَ اَلْحَاكِمِ مِنْ حَدِيثِ اِبْنِ عَبَّاسٍ [9]
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada dua orang meminta keputusan hukum kepadamu, maka janganlah engkau memutuskan untuk orang yang pertama sebelum engkau mendengar keterangan orang kedua agar engkau mengetahui bagaimana harus memutuskan hukum." Ali berkata: Setelah itu aku selalu menjadi hakim yang baik. Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits hasan menurut Tirmidzi, dikuatkan oleh Ibnu al-Madiny, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban.
Ada hadits saksi riwayat Hakim Ibnu Abbas.
E.     Ijtihad Hakim
-          Hadis
 وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: إِذَا حَكَمَ اَلْحَاكِمُ, فَاجْتَهَدَ, ثُمَّ أَصَابَ, فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ, فَاجْتَهَدَ, ثُمَّ أَخْطَأَ, فَلَهُ أَجْرٌ[10]
Dari ‘Amru bin ‘Ahs mendengar Rasululah SAW, Bersabdah: apabilah seorang hakim berijtihad ternyata ijtihadnya itu salah, maka ia akan mendapatkan satu pahala, dan kalau ijtihadnya itu benar, maka dia akan mendapatkan dua pahala. (Dikeluarkan Oleh Bukhairi dan Muslim).
-          PENJELASAAN:
Optimisme ini hanyalah bagi para qadhi yang adil yang tidak minta jabatan tersebut, tidak minta bantuan kepada orang lain untuk menolongnya. Tetapi keputusanya itu adalah karena pengetahuanya terhadap al-qur’an dan Sunnah; dan itulah yang dijadikan standar membedakan antara yang hak dengan yang batil.
Kata Syarih selanjutnya; Tetapi banyak sekali orang bodoh yang mencari-cari jabatan yang muliah ini, bahkan dibelinya dengan harga dengan harga mahal. Orang yang demikian itu adalah sebodh-bodoh orang, sehinggah berakibat malapetaka melanda dimana-mana.[11]
F.     Dakwaan / Gugatan
Hadis
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَوْ يُعْطَى اَلنَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ, لَادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ, وَأَمْوَالَهُمْ, وَلَكِنِ اَلْيَمِينُ عَلَى اَلْمُدَّعَى عَلَيْهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
وَلِلْبَيْهَقِيِّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ ( اَلْبَيِّنَةُ عَلَى اَلْمُدَّعِي, وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ )
Dari Ibnu ‘Abbas –radliallâhu 'anhuma- bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Andaikata (semua) manusia diberi (kebebasan) dengan dakwaan masing-masing, niscaya (ada saja) manusia yang mendakwa darah orang-orang (bahwa mereka membunuh) dan harta benda mereka (bahwa itu adalah hartanya), akan tetapi (pembuktiannnya adalah dengan cara) bersumpah oleh orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”. (Muttafaqun ‘alaih)…
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqy dengan sanad yang shahih disebutkan: “(Mendatangkan) ‘bayyinah’ (wajib) atas pendakwa dan (mengucapkan) sumpah (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”.
PENJELASAN:
Definisi
Kata ‘Dakwa’ atau ‘Dakwaan’ asalnya dari bahasa Arab, yaitu dari kata ‘Da’wâ’ (bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘âwâ), yaitu “menyandarkan (mengklaim) kepemilikan sesuatu yang berada di tangan orang lain atau di bawah tanggungjawab orang tersebut kepada dirinya”.
Sedangkan kata ‘al-Mudda’iy’ (Pendakwa) adalah orang yang menuntut haknya kepada orang lain dengan mengklaim kepemilikannya terhadap hal yang dituntutnya tersebut …
Adapun kata ‘Bayyinah’, terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya;
·     Ia adalah tanda/bukti yang jelas, seperti adanya seorang saksi menurut madzhab Imam Ahmad.
·     Ibnu al-Qayyim tidak membatasi makna ‘Bayyinah’ pada ‘saksi’ saja tetapi lebih umum dari itu; ia adalah sebutan untuk segala sesuatu yang dapat menjelaskan dan mengungkap kebenaran (al-Haq). Beliau menyatakan bahwa pihak yang hanya memfokuskan pada makna ‘dua orang saksi’, ‘empat saksi’ atau ‘seorang saksi’, berarti mereka belum memberikan definisi yang semestinya terhadap penamaannya sebagai ‘bayyinah’. Di dalam al-Qur’an, ‘al-Bayyinah’ tidak pernah sama sekali dimaksudkan sebagai ‘dua orang saksi (asy-Syâhidân)’ tetapi dimaksudkan sebagai ‘al-Hujjah’ ‘ad-Dalîl’ dan ‘al-Burhan’, baik dalam bentuk mufrad (singular) ataupun jama’ (plural). Memang ‘asy-Syâhidân’ (dua orang saksi) merupakan bagian dari ‘al-Bayyinah’ tetapi hal ini tidak menafikan selain keduanya sebagai jenis lain darinya dimana bisa jadi yang selainnya tersebut justeru lebih kuat dan akurat untuk menunjukkan secara kondisional kebenaran si pendakwa. Petunjuk kondisional ini adalah lebih kuat dari pada petunjuk yang di dapat melalui berita seorang saksi. Kata al-Bayyinah, ad-Dilâlah, al-Hujjah, al-Burhân, al-‘Alâmah dan al-Amârah dari sisi maknanya mirip satu sama lainnya. Allah Ta’ala, asy-Syâri’ tidak pernah meniadakan al-Qarâ-in (bukti), al-Amârât (tanda-tanda) dan petunjuk yang bersifat kondisional. Bagi orang yang sudah melakukan analisis terhadap sumber-sumber asli syari’at, akan mendapatkan bahwa ia (syari’at) mempertegas eksistensi hal-hal tersebut dan mengatur hukum-hukum yang terkait dengannya.
Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Hadits
·       Di dalam hadits diatas, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa siapa saja yang mendakwa dengan suatu dakwaan terhadap seseorang, maka wajib baginya untuk menghadirkan al-Bayyinah dan memperkuat dakwaannya tersebut. Jika dia tidak memiliki al-Bayyinah tersebut, maka si terdakwalah yang harus mengucapkan al-Yamîn untuk menafikan dirinya dari dakwaan tersebut.
·       Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam menyebutkan hikmah dari kenapa pendakwa harus menghadirkan al-Bayyinah, sementara si terdakwa harus mengucapkan al-Yamîn. Yaitu, agar jangan sampai setiap orang dengan seenaknya melakukan dakwaan terhadap orang lain sebab bila hal itu dibiarkan bebas, niscaya orang-orang yang tidak membiasakan dirinya selalu di bawah pengawasan Allah Ta’ala dengan entengnya akan melayangkan dakwaan secara dusta terhadap darah atau harta orang-orang yang tidak bersalah/berdosa. Akan tetapi Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui telah memberikan batasan dan hukum untuk hal tersebut sehingga tindakan kejahatan, kezhaliman serta kerusakan dapat diminimalisir. Syaikh Ibnu Daqîq al-‘Îed berkata: “Hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak boleh melakukan tindakan hukum kecuali dengan hukum syari’at yang telah diatur, meskipun ada perkiraan yang lebih berat untuk membenarkan pendakwa”.
·       al-Yamîn harus diucapkan oleh si terdakwa dan al-Bayyinah harus dihadirkan oleh si pendakwa sebagaimana terdapat di dalam riwayat al-Baihaqy. Kenapa demikian? Karena al-Yamîn menempati posisi terkuat dari dua orang yang mengajukan gugatan, dan pihak terdakwa merupakan orang yang kuat bilamana dari pihak pendakwa tidak menghadirkan al-Bayyinah sebab hukum asalnya adalah terlepasnya diri si terdakwa dari semua dakwaan tersebut sehingga darinya cukup mengucapkan al-Yamîn. Syaikh Ibnu al-Qayyim berkata: “Yang ada di dalam syari’at bahwa al-Yamîn disyari’atkan dari pihak yang terkuat dari dua pihak yang saling menggugat. Siapa saja pihak yang dirasa lebih kuat dari kedua orang yang bersengketa, maka al-Yamîn diambil dari sisinya. Ini adalah pendapat Jumhur ulama seperti Ahli Madinah dan Fuqaha’ Ahli Hadits semacam Imam Ahmad, asy-Syafi’i, Malik dan selain mereka.
·       Yang dimaksud dengan al-Bayyinah menurut kebanyakan para ulama adalah para saksi (asy-Syuhûd), sumpah (al-Aymân) dan pencabutan gugatan (an-Nukûl). Sedangkan menurut al-Muhaqqiqun (para ulama kritikus) al-Bayyinah adalah sebutan bagi setiap sesuatu yang dapat menjelaskan dan mengungkap kebenaran, baik berupa para saksi, bukti-bukti secara langsung/kondisionil ataupun penyebutan kriteria oleh pendakwa seperti halnya di dalam penyebutan kriteria al-Luqathah (barang temuan/hilang). Syaikh Ibnu Rajab berkata: “Setiap barang yang tidak diklaim lagi oleh pemiliknya, kemudian ada orang yang mampu menyebutkan kriteria dan ciri-cirinya yang masih samar, maka barang tersebut adalah miliknya. Jika ada orang yang mempersengketakan apa yang sudah ada di tangannya, maka ia masih tetap miliknya bila mengucapkan al-Yamîn (sumpah) selama pendakwa tidak dapat menghadirkan al-Bayyinah yang lebih kuat darinya”.
Syaikh Ibnu al-Qayyim berkata: “al-Bayyinah di dalam kalam Allah, sabda Rasul-Nya dan ucapan para shahabat adalah sebutan bagi setiap sesuatu yang dapat menjelaskan al-Haq. Jadi ia lebih bersifat umum bila dibanding dengan terminologi al-Bayyinah yang digunakan oleh kalangan para Fuqaha’ dimana mereka mengkhususkan maknanya pada seorang saksi atau seorang saksi dan al-Yamîn saja. Terminologi tersebut tidak dapat dijadikan acuan selama tidak mencakup Kalam Allah dan sabda Rasul-Nya. Terminologi yang semacam itu dapat menjerumuskan kepada kekeliruan di dalam memahami nash-nash bahkan mengarahkannya kepada selain makna yang diinginkan”.
·       Hadits diatas merupakan prinsip yang agung dan merupakan salah satu prinsip di dalam al-Qadla’ (mahkamah/peradilan). Kebanyakan produk-produk hukum yang lain berporos pada prinsip yang agung ini.
·       Hadits tersebut memiliki kedudukan yang tinggi dan merupakan salah satu prinsip utama di dalam al-Qadla’ dan hukum-hukum. Menerapkan al-Qadla’ di tengah manusia dapat dilakukan ketika terjadi perselisihan dimana satu pihak mendakwa haknya terhadap pihak yang lain dan pihak yang lain ini menolak dan berlepas diri darinya.
·       Barangsiapa yang mendakwa orang lain dalam hal yang berupa barang, agama atau hak sementara dakwaan itu diingkari oleh si terdakwa, maka pada prinsipnya kebenaran berada di pihak si terdakwa yang mengingkari ini karena hukum asalnya adalah bahwa dirinya terlepas dari semua tuntutan; Jika pendakwa menghadirkan al-Bayyinah yang menguatkan haknya maka ia adalah miliknya dan jika tidak menghadirkannya, maka yang dituntut dari si terdakwa terhadapnya hanyalah mengucapkan al-Yamîn untuk menafikan dakwaan tersebut.
·       Hadits diatas mendukung pendapat Jumhur ulama, diantaranya ulama madzhab Syafi’i dan Hanbaly yang menyatakan bahwa al-Yamîn diarahkan kepada si terdakwa baik antara dirinya dan si pendakwa pernah saling mengenal ataupun tidak. Sedangkan menurut madzhab ulama Maliky dan Ahli Madinah, diantaranya tujuh fuqaha’-nya (al-Fuqahâ’ as-Sab’ah) bahwa al-Yamîn tidak dapat diarahkan kepada orang yang diantaranya dan si pendakwa pernah saling mengenal. Ini dimaksudkan agar orang-orang yang iseng tidak dengan seenaknya dapat memaksakan orang-orang yang dihormati (tokoh atau ulama) untuk bersumpah.
·       Orang yang memiliki hutang atau hak yang permanen dan legitimit terhadap sesuatu sedangkan dia dituntut untuk membuktikannya, lalu kemudian ada orang lain yang mendakwa bahwa hak/tanggungannya tersebut dapat lepas dari dirinya (pemilik asal) dengan banyak cara seperti memenuhi janji yang telah disetujuinya, menggugurkannya, jalan damai atau lainnya; maka hukum asalnya adalah bahwa apa yang menjadi hak/tanggungan pemilik asal tetap berlaku. Jika si pendakwa tersebut tidak menghadirkan al-Bayyinah atas telah dipenuhinya janji tersebut atau terlepasnya tanggungan tersebut dari diri terdakwa (pemilik asal), maka yang dituntut dari pemilik asal (terdakwa) untuk menyanggah pendakwa adalah mengucapkan al-Yamîn bahwa hak/tanggungannya tersebut masih tetap berlaku dan legitimit karena hukum asalnya adalah masih berlakunya sesuatu seperti sediakala.
·       Demikian juga halnya dengan dakwaan terhadap ‘Uyûb (cacat suatu barang), asy-Syurûth (syarat sesuatu), al-Âjâl (masa waktu sesuatu) dan al-Watsâ-iq (bukti penguat sesuatu). Hukum asal semuanya adalah bahwa hal tersebut tidak pernah ada dan terjadi sehingga tidak perlu menanggapinya. Barangsiapa yang mendakwanya, maka hendaknya dia menguatkannya dengan al-Bayyinah ; jika tidak ada, maka orang yang mengingkarinya (si terdakwa) harus mengucapkan al-Yamîn.
·       Hadits ini merupakan prinsip utama di dalam proses ‘al-Murâfa’ât’ (code of procedure/hukum acara). Manhaj yang telah digariskan oleh prinsip ini di dalam menyelesaikan dakwaan merupakan solusi yang jitu guna mencegah merajalelanya dakwaan-dakwaan bathil yang tidak beralasan serta dapat mengokohkan suatu hak kepada pemiliknya.
·       Para Ulama Kritikus mengatakan: “Sesungguhnya syari’at ini menjadikan al-Yamîn sebagai aspek yang paling kuat dari sisi hukum baik ia bersumber dari pendakwa ataupun si terdakwa”. Wallahu a’lam. Ibnu al-Mundzir berkata: “Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa al-Bayyinah harus dihadirkan oleh si pendakwa dan al-Yamîn harus diucapkan oleh orang yang mengingkari (si terdakwa)”.
·       Syaikh Ibnu Rajab di dalam syarahnya terhadap hadits al-Arba’în berkata: “Makna sabda beliau (artinya): “(Menghadirkan) ‘al-Bayyinah’ (wajib) atas pendakwa”, yakni bahwa dengan al-Bayyinah tersebut dia berhak terhadap dakwaannya karena ia adalah suatu kewajiban atasnya yang harus dipegang. Sedangkan makna sabda beliau: “(mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”, yakni dengan al-Yamîn tersebut, dia terbebas dari segala dakwaan karena ia wajib atasnya dan harus dipegang dalam kondisi apapun.
·       Ibnu Rajab juga mengatakan: “Bila si pendakwa menghadirkan seorang saksi, maka ini akan memperkuat posisinya dan bila ditambah dengan sumpah, maka putusan berpihak padanya”.
·       Beliau juga menambahkan: “al-Bayyinah adalah setiap sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran dakwaan si pendakwa dan menjadi saksi atas kejujurannya sedangkan al-Lawts * dan jenis-jenisnya adalah juga termasuk al-Bayyinah. Dan saksi (asy-Syahid) bila diperkuat dengan al-Yamîn juga menjadi al-Bayyinah. * al-Lawts adalah sesuatu yang menunjukkan atas kejadian sesuatu, seperti adanya ceceran darah di tempat kejadian, dsb…semacam ‘alibi’. Ia bisa dikategorikan sebagai ‘bukti pendukung’, wallahu a’lam-red.
·       Beliau juga mengatakan: “Dan sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam (artinya): “Andaikata (semua) manusia diberi (kebebasan) dengan dakwaan-dakwaan mereka…” menunjukkan bahwa si pendakwa atas darah dan harta seseorang harus menghadirkan al-Bayyinah yang menunjukkan kebenaran dakwaannya. Termasuk juga di dalam keumuman makna hadits tersebut adalah kondisi dimana si terdakwa yang didakwa oleh seseorang telah membunuh muwarrits -nya (muwarrits adalah orang mati yang meninggalkan warisan sehingga menyebabkan dirinya menjadi ahli waris seperti ayah, dst) sedangkan dia hanya memiliki al-Bayyinah yang berupa ucapan orang yang terbunuh tersebut (muwarrits); “si fulan-lah yang telah melukaiku”. Kondisi al-Bayyinah seperti ini tidak cukup baginya dan al-Lawts tidak dapat terjadi hanya karena itu. Ini adalah pendapat Jumhur ulama. Berbeda dengan pendapat madzhab Maliky yang menjadikan ucapan muwarrits tersebut sebagai bentuk al-Lawts yang harus dibarengi dengan sumpah para walinya sehingga pendakwa berhak atas dakwaannya terhadap darah tersebut.
·       Beliau juga mengatakan: “Dan sabdanya shallallâhu 'alaihi wa sallam : “(mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)” menunjukkan bahwa setiap orang yang didakwa dengan suatu dakwaan, lalu dia mengingkarinya, maka wajib atasnya mengucapkan al-Yamîn. Ini adalah pendapat mayoritas Fuqaha’. Sedangkan Imam Malik mengatakan: “Orang yang mengingkari (si terdakwa) wajib mengucapkan al-Yamîn bilamana antara kedua orang yang saling menggugat pernah ada semacam percampuran (antara satu sama lain pernah saling mengenal). Sebab bila tidak, dikhawatirkan ada sementara orang-orang yang iseng dengan seenaknya mempermainkan al-Yamîn di hadapan para pemimpin seperti yang pernah terjadi terhadap Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah.
Beliau mengisahkan: “Suatu ketika kami berhadapan dengan wakil seorang Sultan dan posisiku berada di sampingnya, tiba-tiba ada sebagian hadirin yang mendakwa diriku bahwa aku masih memegang barang titipannya, lalu dia meminta agar aku didudukkan bersamanya dan bersumpah. Lalu aku berkata kepada Qadli/Hakim madzhab Maliky yang waktu itu juga hadir: “Apakah dakwaan semacam ini berlaku dan dapat didengar?”.  Dia menjawab: “Tidak”. Aku berkata lagi: “Lalu apa putusan di dalam madzhabmu terhadap hal seperti ini?”. Dia menjawab: “Si pendakwa harus dita’zir”. (diberi sanksi oleh sultan/penguasa-red). Aku berkata: “Kalau begitu, berilah putusan seperti di dalam madzhabmu itu!”. Lalu si pendakwa itu disuruh berdiri dan ditarik keluar dari majlis itu.
·       asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah berkata - mengomentari sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam (artinya) -: ‘(Menghadirkan) ‘al-Bayyinah’ (wajib) atas pendakwa dan (mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)’ “Sungguh ini merupakan ucapan yang amat menyentuh dan komplit. Ia melingkupi seluruh peristiwa dan bagian-bagiannya yang terjadi di tengah umat manusia dalam segala hak mereka. Ucapan ini merupakan suatu prinsip yang melandasi seluruh problematika yang timbul. Ia dapat mencakup beberapa kondisi berikut :
1.       kondisi orang yang mendakwa hak orang lain sedangkan si terdakwa mengingkarinya.
2.      kondisi orang yang telah mantap haknya (permanen/legitimit) lalu mendakwa berlepas diri darinya sementara pemilik hak (asli) tersebut mengingkarinya.
3.      kondisi orang yang telah mantap di tangannya kepemilikan terhadap sesuatu lalu ada orang lain yang mendakwa kepemilikannya terhadap sesuatu tersebut sedangkan pemiliknya ini mengingkarinya.
4.      kondisi dua orang yang telah bersepakat dengan suatu ‘aqad lalu salah satu dari keduanya mendakwa bahwa ‘aqad itu cacat karena ada syarat yang tertinggal atau semisalnya sementara yang seorang lagi mengingkari hal itu; maka ucapan yang harus dipegang (menjadi acuan) adalah ucapan yang mendakwa tidak adanya cacat tersebut.
5.      kondisi orang yang mendakwa terhadap suatu syarat, cacat, tenggang waktu tertentu dan semisalnya sementara yang lainnya mengingkari hal itu, maka ucapan yang harus dipegang (menjadi acuan) adalah ucapan orang yang mengingkarinya (si terdakwa). Dan banyak lagi kondisi lainnya yang masuk ke dalam cakupan kaidah diatas”.[12]
G.    Pembuktian
Hadis
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَضَى بِيَمِينٍ وَشَاهِدٍ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَقَالَ: إِسْنَادُهُ جَيِّد
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه مِثْلَهُ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان َ[13]
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memutuskan suatu perkara dengan sumpah dan seorang saksi. Riwayat Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i. Ia berkata: Sanad hadits itu baik.
Ada hadits serupa dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban
Penjelasaan:
            Syarih berkata: hadist-hadist dalam bab ini dijadikan hujjah oleh segolongan sahabat dan tabi’in serta tabi’ut tabi’in tentang bolehnya memutuskan suatu perkara berdasar seorang saksi dan sumpah. Sedang daraquthni meriwayatkan dari hadis ‘amr bin syuib, dari ayahnya, dari datuknya, bahwa nabi SAW, bersabdah:
            Allah dan rasulnya memutuskan perkara yang benar dengan (berdasar) dua saksi. Maka jika (pihak yang mengadu itu) bisa membawa dua orang saksi, dia bisa memperoleh haknya, tetapi jika dia hanya bisa membawa seorang saksi, maka dia disumpah bersama (kesaksian) saksinya itu.
            Imam syafi’i mengatakan: bahwa keputusan dengan (berdasar) seorang saksi dan sumpahnya itu tidak menyalahi zahirnya al-qur’an, karena al-qur’an tidak melarang tentang kebolehaan (menampilkan saksi) kurang dari apa yang telah ditetapkan (dengan nash) itu.[14]
H.    Ancaman Sumpah Palsu
-          Hadis
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْحَارِثِيُّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنْ اِقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ, فَقَدْ أَوْجَبَ اَللَّهُ لَهُ اَلنَّارَ, وَحَرَّمَ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اَللَّهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبٌ مِنْ أَرَاكٍ ) رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
Dari Abu Umamah al-Haritsi Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mengambil hak milik seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mengharuskan dirinya masuk neraka dan mengharamkan baginya surga." Ada seseorang bertanya: Walaupun sedikit, wahai Rasulullah?. Beliau menjawab: "Walaupun sepotong dahan pohon arak." Riwayat Muslim. [15]
I.       Penyelesaian Perkara yang Tidak Punya Alat Bukti
Hadis
وَعَنْ أَبَى مُوسَى اَلْأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه ( أَنَّ رَجُلَيْنِ اِخْتَصَمَا إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي دَابَّةٍ, لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا بَيِّنَةٌ, فَقَضَى بِهَا رَسُولُ اَللَّهِ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ وَهَذَا لَفْظُهُ, وَقَالَ: إِسْنَادُهُ جَيِّد [16]
Dari Abu Musa Radliyallaahu 'anhu bahwa ada dua orang yang bersengketa masalah seekor hewan. Tidak seorang pun di antara mereka yang memiliki bukti. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memutuskan bahwa keduanya mendapatkan setengah. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Lafadz hadits menurut Nasa'i dan ia berkata: sanadnya baik.
PENJELASAAN:
Syarih berkata: perkataan “lalu nabi SAW. Membagi antara kedua orang tersebut dua bagian” itu menunjukan, bahwa jika ada dua orang berebut masalah binatang ataupun lainnya, lalu masing-masing mengakui sebagai pemiliknya. Padahal mereka tidak membawa bukti (saksi) dan barang tersebut ditangan mereka berdua, maka masing-masing (hanya boleh) mengakui separuh. Kemudian jika mereka membawa bukti (saksi). Maka kedua pengakuan mereka itu menjadi gugur, dan kedua bagian tersebut dianggap tidak ada, lalu si hakim memutuskan kedua bagian itu dibagi rata antara mereka berdua dengan sama. [17]
J.      Risywah Kepada Hakim
Hadis
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي اَلْحُكْمِ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
وَلَهُ شَاهِدٌ: مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اَللَّهِ بنِ عَمْرٍو عِنْدَ اَلْأَرْبَعَةِ إِلَّا النَّسَائِيَّ[18]
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat penyuap dan penerima suap dalam masalah hukum. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Ibnu Hibban.
Hadits tersebut mempunyai hadits saksi riwayat Imam Empat selain Nasa'i dari Abdullah Ibnu Amar
PENJELASAAN:
Syarih berkata: Menurut Ibnu Ruslan, risywah (suap) ini meliputi hakim dan amil zakat. Risywah ini haram. Menurut ijama ulama. Sementara Abu wail mengatakan: apabilah seorang hakim menerima hadiah. Maka berarti dia makan barang haram. Dan apabilah menerimah suap. Maka sampai pada kufur.
Syarih (Syaikuni) berkata:, bahwa hadiah kepada hakim dsb. Itu adalah suatu bentuk risywah. Sebab seorang memberi hadiah kalau belum merupakan kebiasaan kepada hakim sebelum dia diangkat sebagai hakim, sudah pasti hadiahnya itu ada tendensi tertentu: mungkin untuk memperkuat kebatilannya atau sebagai upaya untuk mencari kemenangan. Semua itu adalah haram. Paling tidak bertujuan supaya dekat dengan hakim, lalu hakim menghargainya dan mau memperlihatkan omongnannya. Tujtuannya tidak lain adalah demi meminta bantuan untuk mengalahkan lawannya atau untuk mencari keselamatan dari berbagai tuntan para alwannya itu. Yang pada gilirannya sihakim akan marah kepada orang yang seharusnya dipihak benar dan orang yang seharusnya tidak perlu takut akhirnya menjadi takut. Inilah tujuan-tujuan  dan latar belakang yang dituju oleh risywah itu. Justru hendaklah para hakim selalu berhati-hati demi memperthankan keagamannya, guna bersiap-siap menuju tuhannya. Kirannya para hakim jangan sampai mau menerimah hadiah sebab setiap kebaikan itu secara tabi’i akan selalu menuntut balas jasa, karena hati manusia itu sangat berpengaruh oleh baik budi seseorang. Mungkin saja hatinya cendrung kesitu tanpa disadari.[19]
K.    Hadiah kepada petugas yang sedang menjalankan tugasnya dan hakim.
Hadis
الِىْ أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ فَيَقُوْلُ: هَدَا لَكُمْ وَهَدَا الِيْ هَدِيَةٌ ؟ أَللاَ جَلَسَ فِيْ بَيْتِ أُمِّهِ لِيُهْدَى لَهُ ! وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ, لَا بَأْ خُذُ أَحَدُكُمْ مِنْكُمْ شَيْـئًابِغَيْرِ حَقٍّ إِلْاَ أَتَّى اللهَ يَحْمِلُهُ يَعْنِى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلاَ يَأْ تِيَّنَ اَحَدُ كُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِبَعِيْرٍ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خَرَارُ, أَوْ شَاةٌ تَيْعَرَ, ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اَللَّهُمَّ هَلْ بَلَغْتُ؟ (متفق عليه)
Artinya: mengapa saya mempekerjakan seorang laki-laki dari antara kamu kemudian ia mengatakan ini untuk mu dan ini hadiah untuk mu? Mengapa tidak saja tinggal di rumah ibunya supaya di beri hadiah demi zat yang diriku di tanggannya! Salah seorang diantara kamu tidak akan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak benar melainkan dia akan menghadap Allah-kelak di hari kiamat-sambil mengambil benda tersebut. Sesungguhnya salah seorang di antara kamu tidak akan datang nati di hari kiamat dengan membawa unta yang melengguh atau sapi yang menguwak atau kambing yang mengembik. Kemudian nabi mengangkat kedua tangannya sampai putihnya kedua ketiaknya tampak, seraya mengatakan: ya Allah sudahkah saya sampaikan ini?! (HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan
Kalau sudah demikian kerasnya larangan ini, maka sepatutnya seorang hakim atau penguasa dan orang-orang yang tergolong hakim atau penguasa mengira-ngirakan dirinya suatu tinggal bersma ayah dan ibunya. Kalau dia di beri hadiah sesudah memisahkan diri tetapi waktu itu masih tinggal bersama ibunya, maka boleh di terimanya ketika dia sedang memangku jabatan tetapi, kalau dia tau bahwa pemberian itu karna jabatanya maka haram dia menerimanya hadiah-hadiah kawanya yang masih disangsikan atau kah kalau dia keluar dari jabatan, bahwa mereka itu akan memberinya. Maka hal ini dianggap sebagai barang subhat oleh karna itu jauhilah. Karena Hadiah yang ada kaitannya dengan tugas, akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan tugas, bahkan dapat membawa kepada pelalaian tugas, dan pelaksanaan tugas akan berorientasi pada hadiah atau finansial. Juga akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.
L.     Keretariah saksi yang baik
Hadis
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيِّ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ اَلشُّهَدَاءِ؟ اَلَّذِي يَأْتِي بِشَهَادَتِهِ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلَهَا ) رَوَاهُ مُسْلِم [20]ٌ
Dari Zaid Ibnu Kholid al-Juhany bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Maukah kalian aku beritahu sebaik-baik persaksian? Yaitu orang yang datang memberi saksi sebelum diminta persaksiannya." Riwayat Muslim
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِي, ثُمَّ اَلَّذِينَ يَلُونَهُمْ, ثُمَّ اَلَّذِينَ يَلُونَهُمْ, ثُمَّ يَكُونُ قَوْمٌ يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ, وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ, وَيَنْذُرُونَ وَلَا يُوفُونَ, وَيَظْهَرُ فِيهِمْ اَلسِّمَنُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ[21]
Dari Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sebaik-baik orang di antara kamu ialah (hidup) seabad denganku, lalu orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka; setelah itu datanglah suatu bangsa yang memberi persaksian padahal mereka tidak diminta menjadi saksi, mereka berkhianat padahal mereka tidak diberi amanat, mereka bernadzar dan tidak memenuhinya, dan tubuh mereka tampak gemuk." Muttafaq Alaihi
Penjelasaan:
Syarih berkata: Yang dimaksud orang-orang yang seangkatan dengan Nabi SAW, ialah para sahabat, sedangkan angkatan sesudahnya ilah tabi’in; dan angkatan seudah tabi’in adalah tabi’ut tabi’in.
Ibnu hajar mengatakan: jawaban yang paling baik, bahwa yang dimaksud hadis zaid yaitu suatu kesaksian terhadap seseorang dengan benar, tetapi tidak diketahui siapa yang menyaksikan itu, lalu ia datang sendiri untuk memberitahukan kepadanya akan kesaksian itu. Atau mungkin juga orang yang bersangkutan itu meninggal dunia, dan digantikan oleh ahli warisnya, lalu si saksi itu datang kepada ahli warisnya untuk memberitahukan kepada mereka apa yang dia ketahuinya.
M.   Syarat Saksi.
Hadis
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ خَائِنٍ, وَلَا خَائِنَةٍ, وَلَا ذِي غِمْرٍ عَلَى أَخِيهِ, وَلَا تَجُوزُ شَهَادَةُ اَلْقَانِعِ لِأَهْلِ اَلْبَيْتِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ[22]
Dari Abdullah Ibnu Amar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah persaksian seorang laki-laki dan perempuan pengkhianat, persaksian orang yang menyimpan rasa dengki terhadap saudaranya, dan tidak sah pula persaksian pembantu rumah terhadap keluarga rumah tersebut." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud
Penjelasaan:
Syarih berkata: Khiyanat yang dimasudkan dalam hadist tersebut, oleh Abu ‘Ubaid dijelaskan, yaitu kiyanat yang berkenaan dengan hak-hak allah dan hak manusia juga.
Perkataan “dan orang orang yang menyakiti kawannya” itu, menunjukan, bahwa permusuhan itu menjadikan penghalang bagi diterimanya suatu kesaksian, karena dengan permusuhaan itu akan menyebabkan terjadinya tuduhan. Tetapi (Abu Hayyan) dalam al-Bahrul Muhith mengatakan, bahwa permusuhaan demi membela agama tidaklah merupakan penghalang.[23]






N.    Kesaksian Palsu.
Hadis
وَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ رضي الله عنه ( عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ عَدَّ شَهَادَةَ اَلزُّورِ فِي أَكْبَرِ اَلْكَبَائِرِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي حَدِيث ٍ[24]
Dari Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menggolongkan persaksian palsu termasuk di antara dosa-dosa yang paling besar. Muttafaq Alaihi dalam hadits yang panjang.
Penjelasaan:
Syarih berkata: perkataan “ ketika belau bersandar, lalu duduk” itu menunjukan keseriusaan beliau dalam masalah ini, sekaligus untuk memberitahukan betapa kerasnya larangan itu dan betapa pula jeleknya perbuatan tersebut. Sedangkan kemusrikan itu tidak bisa diterima oleh hati seorang muslim, sementara menyakiti hati itu akan ditolak oleh tabiat. Adapun dosa, maka faktor-faktor yang membawanya banyak sekali, misalnya permusuhaan, hasud dsb. Itulah sebabnya maka dosa/dusta ini perlu ditekankan. Sedangkan omongan dusta itu lebih umum daripada saksi palsu, karena omongan dusta itu meliputi setiap kedustaan, baik yang nyata, yang tersembunyi, kebohongan maupun  kedustaan.[25]
O.    Penetapan Keputusan
1.      Keterbatasaan Hakim
Hadis
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : (  إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ, وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ, فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ, مِنْهُ فَمَنْ قَطَعْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا, فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ اَلنَّارِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ[26]
Dari Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya engkau sekalian selalu mengadukan persengketaan kepadaku. Bisa jadi sebagian darimu lebih pandai mengemukakan alasan daripada yang lainnya, lalu aku memutuskan untuknya seperti yang aku dengar darinya. Maka barangsiapa yang aku berikan kepadanya sesuatu yang menjadi hak saudaranya, sebenarnya aku telah mengambil sepotong api neraka untuknya." Muttafaq Alaihi.
Penjelasan :
1)      Didalam hadis ini dijelaskan bahwa Rasul tidak mengetahui hal yang gaib dan perkara-perkara batin kecuali apa yang diajarkan Allah dan apa yang diberitahukanya kepada beliau, yang didasarkan dengan sabda beliau, “Sesunguhnya aku hanyalah manusia biasa yang tinggi seperti yang telah ditetapkan Allah.
2)      Diperbolehkan bagi beliau untuk membuat keputusan hukum dalam berbagai perkara seperti yang juga diperbolehkan bagi selain beliau. Beliau memutuskan perkara diantara manusia berdasarkan zhahirnya dan allah lah yang mengetahui segalah rahasia, beliau memutuskan perkara berdasarkan bukti keterangan, sumpah dan lain sebaganya dari hukum-hukum yang zhahir, meskipun ada kemungkinan bahwa pada batinya berbeda dengan zhahirnya.
3)      Rasul diberi kewajiban memutuskan hukum berdasarka zhahirnya disertai kemungkinan pemberitahuan allah kepada beliau tetang yang batin, sehingga beliau membuat keputusan hukum berdasrkan keyakinan beliau sendiri meski tanpa alasan atau sumpah, agar menjadi teladan dan ketetapan bagi umat.
4)      Disini terkandung hiburan bagi para hakim, jika nabi saja bisa memperkirakan sesuatu yang tidak benar berdasrkan kekuatan alasan lawan perkara lalu beliau memberikan kemenagan kepadanya, maka selain beliau lebih layak lagi untuk melakukan hal yang sama.
5)      Para ahli Ushul sepakat bahwa rasul tidak mengakui suatu kesalahaan dalam hukum. Lalu bagaimana cara mengompromikan antar ijma’ para ahli ushul dengan hadis ini? Jawabnya menurut An-Nawawi, bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan anatar keduanya, karena yang dimaksudkan ahli ushul disini perkaranya yang diputuskan melalui istijihad beliau. Adapun makna yang disebutkan hadis bahwa jika beliau memutuskan perkara tanpa istijihad seperti adanya bukti keterangan, maka jika terjadi perbedaan antara zahir dan batinya, maka keputusan hukum itu tetap benar karena didasarkan kepada kewajiban yang sudah digariskan yaitu kewajiaban menghadirkan dua orang saksi umpamanya. Kalaupun dua orang saksi ini merupakan saksi palsu atau semisal dengan itu, maka kekurangan pada dua saksi tersebut. Lain halnya jika kesalhan itu dalam istijihad, bahwa apa yang diputuskan ini bukan merupakan keputusan hukum syariat.
6)      Keputusan hakim tidak didasarkan kepada alasan dalam batin dan tidak dapat menghalalkan sesuatu yang sudah jelas keharamanya. Ini merupakan pendapat jumrur ulama dan fuqaha di berbagai wilayah, dinatarnya tiga imam, malik, syafi’i, dan ahmad. Jika hakim memutuskan seorang istri bagi seorang laki-laki, padahal dia tau bahwa wanita itubukan istrinya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Atau dia memutuskan suatu harta menjadi milik seseorang, padahal dia tahu bahwa orang tersebut dusta dalam pengakuanya. Yang demikian juga tidak diperbolehkan.
7)      Pembatasan dengan orang muslim didalam hadis ini didasrkan kepada kebiasaan terjadi. Jika tidak, maka hal itu juga berlaku bagi Ahli dzimmah dan orang non-muslim yang mengikat perjanjian dengan orang islam.
8)      Sabda beliau, “hendaklah dia membawanya atau meninggalkannya”, terkandung ancaman dan peringatan keras terhadap orang yang mengambil harta orang lain dengan pengakuan-pengakuan dusta dan alasan-alasan yang diharamkan. Ungkapan ini mirip dengan firman allah, “Berbuatlah kalian menurut kehendak kalian.”(Fushshilat: 40).
9)      Ibnu Taimiyah berkata: “Jika para sahabat berkata berdasrkan istijihad mereka, maka mereka membebaskan ketetapan Rasul dari kesalahan mereka dan kesalaan siapapun selain mereka, seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud tentang penyerahan kekuasaaan, “aku berkata tetang maslah ini berdasrkan pendapatku. Jika ia benar, maka itu berasal dari Allah, dan jika salah, maka itu berasal dari diriku dan dari syetan, sedang allah dan rasulnya terbebas darinya. “begitu pula yang diriwayatkan dari abu bakar As=Shiddiq tetang al-kalalah. Begitu yang diriwayatkan dari umar bin Khotob.[27]

2.      Hakim Memutuskan Perkara hanya berdasarkan pengetahuanya terhadap pribadi pihak yang berpekara
Hadis
Dari Aisyah r.a, bahwa nabi Saw. Mengirim abu jahm bin hudzifah sebagai amil (shadaqah), lalu ada seorang lelaki yang mengalihkan dalam shadaqahnya, lalu dipukulnya oleh Abu Jaham hingga luka.nkemudian mereka (kaum) datang ketempat nabi Saw., seraya mengatakan: hukum dia, ya rasululah. Kemudian rasululah bersabda: kalian mendapat begini-begini. Tetapi kemudian mereka tidak mau menerimanya. Tetapi Rasululah S.aw. tetap saja menyatakan: “kalian mendapatkan begini dan begini” lalu mereka mau menerimanya. Kemudian rasululah bersabda: “ sesungguhnya aku adalah berbicara dengan orang banyak, dan aku juga akan memberitahu kepada mereka akan kerelaan mu itu.” Mereka menjawab : Ya. Lalu rasululah berkhotbah, dalam khotbahnya beliau menyatakan: “bahwa orang-orangyang datang kepadaku tadi bermaksud menuntut hukum, laluk tawarkan kepada mereka begini dan begini, dan akhirnya mereka menerimannya. Apakah kalian juga mau menerimanya? “mereka menjawab: tidak mau. Kemudian orang-orang muhajirin bermaksud hendak memukul mereka. Kemudian mereka di perintahkan rasululah Saw. Untuk menahan diri. Lalu mereka di panggil rasulullah. Dan diberinya tambahan. Setelah itu beliau bertanya lagi “apakah kalian mau menerima?” Mereka menjawab: Ya, Mau. Kemudian rasululah berkhutbah lagi, yang diantara isinya beliau bertanya: “Apakah kalian mau menerimah?” mereka menjawab: Ya, Mau (Hadis Ini Dikeluarkan Oleh Lima Imam Kecuali Tirmidzi).[28]
Dan dari jabir, Ia berkata: Seorang lelaki datang ke Ji’ranah, Sebagai orang baru saja pulang dari Hunain, sedang dibaju Bilal Ada perak, yang selanjutnya oleh nabi Saw. Diambil untuk di berikan kepada orang lain. Kemudian si lelaki mengatakan: Ya Muhamad, berlaku adilah. Maka jawab beliau: “celaka engkau, lalu siapa lagi yang akan bisanberlaku adil? Sungguh aku akan rugi dan tuna jikaaku tidak bisa berlaku adil”. Kemudian Umar berkata: Biarkan aku, ya rasululah. Untuk membunuh si munafiq ini. Lalu rasululah menyanggahnya: “Aku berlindung diri kepada allah, manusia akan bercerita, bahwa aku membunuh sahabat-sahabatku; sesungguhnya orang ini dan teman-temannya sama-sama membaca Al-qur’an, tetapi Al-qur’an itu tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka lepas dari Al-qur’an itu sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya”. (Hadis Ini Dikeluarkan Oleh Ahmad Dan Muslim).[29]
Penjelasan
Syarih mengatakan: Para Ahli ilmu berbeda pendapat tentang masalah bolehnya seorang hakim memutuskan suatu perkara bedasarkan pengetahuan/pengelihatanya saja. Dalam hal ini imam syafi’i mengatakan: seandainya tidak ada hakim yang jelek, niscahaya saya berkata, bahwa hakim boleh memutuskan suatu perkara berdasarkan pengetahuan/pengelihatannya.
Syarih berkata: Hadis Aisyah ini semata-mata menceritakan peristiwa yang dialami oleh nabi Saw, yaitu terjadinya kerelaan (menerima ganti rugi) dari orang-orang yang menuntut hukuman. Jika tidak adanya tindakan hukum oleh rasululah Saw. Kepada mereka lantaran penerimaan mereka pada pertama kalinya, itu dijadikan alasan, niscahaya disitu tidak perlu adanya lagi permintaan hukum atas mereka. Begitu juga hadis jabir, tidaklah menunjukan adanya tuntutan.
Selanjutnya syarih mengatakan: Tidak syak lagi, bahwa seorang hakim dibolehkan memutuskan suatu perkara hukum berdasarkan pengetahuan/ pengelihatannya, karena kesaksian dua orang saksi itu tidak sampai ketingkat pengetahuan yang betul-betul diperoleh dari kesaksiannya itu.
Imam Bukhairi mengatakan: Bab “orang yang berpendapat, bahwa seorang hakim boleh memutuskan perkara hukum berdasrkan pengetahunnya tentang urusan manusia, jika ia tidak kuatir keputusannya itu hanya sekedar sangkaan dan tuduhaan, karena Nabi Saw, bersabda kepada hindun:
Artinya: Ambilah olehmu apa yang kiranya cukup bagimu dan bagi anakmu (dari harta Abu sufyan) dengan cara yang baik.”
Ini kalau perkara itu adalah persolalan yang sudah masyur. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: Dengan menunjuk pendapat Abu Hanifh dan orang-orang yang sependirian dengannya. Bahwa seorang hakim boleh memutuskan suatu perkara hukum tentang hak-hak mansuia berdasar pengatuhuan/ penglihatanya. Tetapi dia tidak boleh memutuskan suatu perkara yang menyangkut hak-hak allah dengan pengetahuan/ pengelihatnya sendiri, misalnya tentang masalah hudud. Karena masalah hudud ini didasarkan atas kelapangan.
Sementera al-Karabisi mengatakan: Menurut pendapat saya, bahwa syarat dibolehkannya seorang hakim memutuskan perkara hukum bedasarkan pengetahunnya  itu haruslah si hakim tersebut sudah dikenal dengan melakukan perbuatan yang dapat menjatuhkan martabat dan tidak pernah dihukum, yakni hal-hal yang menyebabkan ketaqwanya itu masi tetap ada, sedangkan hal-hal yang menyebabkan dia dituduh yang bukan-bukan itu tidak ada.[30]
P.     Hukuman Mati
1.      Perbuatan yang diancam dengan hukuman Mati
Hadis
عَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَحِلُّ دَمُ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ; يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ, وَأَنِّي رَسُولُ اَللَّهِ, إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: اَلثَّيِّبُ اَلزَّانِي, وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ, وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ; اَلْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Utusan Allah, kecuali salah satu dari tiga orang: janda yang berzina, pembunuh orang dan orang yang meninggalkan agamanya berpisah dari jama'ah." Muttafaq Alaihi.[31]
2.      Qishash
Hadis
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلرُّبَيِّعَ بِنْتَ اَلنَّضْرِ -عَمَّتَهُ- كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ, فَطَلَبُوا إِلَيْهَا اَلْعَفْوَ, فَأَبَوْا, فَعَرَضُوا اَلْأَرْشَ, فَأَبَوْا, فَأَتَوْا رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبَوْا إِلَّا اَلْقِصَاصَ, فَأَمَرَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالْقِصَاصِ, فَقَالَ أَنَسُ بْنُ اَلنَّضْرِ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ اَلرُّبَيِّعِ? لَا, وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ, لَا تُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا أَنَسُ! كِتَابُ اَللَّهِ: اَلْقِصَاصُ فَرَضِيَ اَلْقَوْمُ, فَعَفَوْا, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ مِنْ عِبَادِ اَللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اَللَّهِ لَأَبَرَّهُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ [32]
Dari Anas bahwa Rubayyi' Bintu Nadlar -saudara perempuan ayahnya- telah meretakkan gigi depan seorang gadis. Lalu mereka meminta ampun, namun keluarga gadis menolak. Kemudian mereka menawarkan denda dan mereka tetap menolak kecuali qishash. Anas Ibnu Nadhlar berkata: Wahai Rasulullah, apakah gigi depan Rubayyi' diretakkan? Tidak, demi (Tuhan) yang telah mengutusmu dengan kebenaran, gigi depannya tidak akan diretakkan. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai Anas, Kitabullah memerintahkan qishash." Maka relalah keluarga gadis dan mereka memberikan ampunan. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya di antara hamba Allah itu ada yang bersumpah dengan nama Allah, ia akan melaksanakannya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Q.    Jihad
Hadis
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَ ضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (  مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ, وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ, مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ [33]
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan." Muttafaq Alaihi.
Penjelasan:
Hadis ini memberikan suatu hal yang penting, bagaimana seorang muslim itu harus berjihad, jihad dalam hal disini adalah jihad sesuai dengan kemampuan, kalau guru dengan penjelasan yang benar, kalau mahasiswa belajar yang giat dan lain sebagainya, dalam hadis ini apabila seseorang tidak mau atau tidak mempunyai keinginan untuk berjihad maka ia mati dalam kemunafikan, ini merupakan kecaman rasululah bahwa profesi apapun kita, tetap jihad sesuai dengan kemampuan kita, bila tidak mau melakukan itu maka kita termasuk cabang kemunafikan. Banyak sekali orang yang mengaku islam tapi tidak mau berjihad sesuai dengan kemampuan dia, jihad disini tidak harus perang, tapi jihad ini harus disesuaikan dengan keadaan yang ada bila keadaan yang wajib kita untuk jihad maka itu yang harus ditegakan, tapi kalau kondisi itu yang tidak untuk berjihad perang, maka ada hal yang kita gunakan untuk jihad tersebut yaitu jihad dengan pemikiran sesuai profesi perkerjaan kita.

R.    Kepemimpinan
1.      Suksesi
Hadis
Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: “Saya berada di dekat ayah saya (umar bin khotob), ketika beliau mendapat cobaan (ditikam oleh seorang yahudi). Mereka yang hadir memuji beliau dan mengucapkan “semoga allah memberi anda balasan yang baik”. Ayah saya berkata “Memang harus ada yang mengharapkan dan ada pula yang takut”. Mereka berkata: “tunjukanlah seorang khalifa atau penganti anda”. Ayah saya berkata: “Kamu bebankan perkara kamu kepada orang yang masih hidup ataukah orang yang sudah mati? Saya lebih suka untuk menahan diri saja. Kalau saya menunjuk seorang Khalifa. Saya kira hal itu pernah dilakukan seorang yang lebih baik dari pada saya yaitu (Abu bakar). Dan kalau saya biarkan saja, maka hal itu juga sudah pernah dilakukan oleh seseorang yang lebih baik dari pada saya, yaitu Rasulullah”. Kata Abdullah: “Maka taulah saya, ketia Umar menyebut Rasullulah sw, bahwa beliau tidak menunjuk penggantinya (sebagai kepalah pemerintahan)”.[34]
Dari abdullah bin Amr r.a., bahwa Nabi Saw. Bersabda:” tidak halal bagi tiga orang yang berada dalam sebuah perjalanan di bumi ini, melainkan mereka harus mengangkat seorang diantara mereka itu sebagai kepala (amir).” (Hadis Ini Dikeluarkan Oleh Ahmad).[35]
Dan dari Abu Sa’id, Bahwa Rasululah Saw. Bersabda:”Apabilah ada tiga orang yang keluar dalam suatu berpergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang diantara mereka itu sebagai kepala (amir).” (Hadis Ini Dikeluarkan Oleh Abu Daud.[36]
Penjelasan:
Syaukani Berkata : Hadis diatas menunjukan, bahwa setiap rombongan yang terdiri dari tiga orang atau lebih diserukan untuk mengangkat seorang diantara mereka sebagai kepala (kepala Rombongan), demi menghindari pertentangan. Selanjutnya ia pun berkata: lebih-lebih bagi sejumlah orang yang berdiam disebuah desa atau kota, adalah sangat perlu memilih seseorang kepala untuk mencegah kemungkinan terjadinya kelaliman (dari orang / kelompok lain) dan buat memecahkan setiap kasus persengketaan yang terjadi diantara mereka.[37]
2.      Larangan meminta jabatan
Hadis
Dan dari abur Rahman bin samura, ia berkata : rasululah Saw, pernah memperingatkan aku sbb: “hai abdur Rahman bin Samura, janganlah engkau minta menjadi pemimpin, sebab sesunguhnya jika engkau diberinya tanpa meminta, maka engkau akan dibantu (allah), tetapi jika engkaudiberinya tanpa meminta, maka engkau akan dibebaninya (sendiri). (Hadis ini dikeluarkan oleh Ahmad, Bukhairi, Dan Muslim)[38]
Dari anas, ia berkata: Rasululah Saw. Bersabda: “Barangsiapa minta menjadi pemimpin, maka dirinya akan dibebani sendiri dan barangsiapa yang diberi tugas, maka akan ada malaikat yang turun untuk membantu.” (Hadis ini dikeluarkan oleh Lima Imam, Kecuali Nasa’i) [39]
Penjelasan
Antara hadis Anas dan Hadis Abdur Rahman Diatas menerangkan, bahwa orang yang diserahi kepemimpinan umat tanpa minta akan di beri pertolongan tetapi tidak ada malaikat yang meluruskannya. Sedangkan hadis Anas menerangkan, bahwa orang yang dipilih menjadi pemimpin umat akan ada malaikat yang turun untuk meluruskannya.[40]





S.      Pergaulan Bebas
3.      Larangan Berdua-duaan
Hadis
ﻭﻋﻧﻪ ﺮﺿﻰ ﺍﻠﻠﻪ ﻋﻧﻪ ﻘﺎﻝ  ﺴﻤﻌﺖ ﺮﺴﻭﻝ ﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻰ ﺍﻠﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻢ ﻴﺨﻄﺐ ﻴﻘﻭﻝ : ﻴﺨﻠﻭﻦ ﺮﺟﻝ ﺍﻻ ﻤﻬﺎ ﺬﻭ ﻤﺤﺮﻢ ﻭﻻ ﺘﺴﺎﻔﺮ ﺍﻠﻤﺮﺃﺓ ﺇﻻ ﻤﻊ ﺫﻯ ﻤﺤﺮﻢ ﻔﻘﺎﻢ ﺮﺠﻝ ﻴﺎ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﻟﻟﻪ ﺇﻥ ﺍﻤﺮﺃﺗﻰ ﺧﺮﺠﺖ ﺤﺎﺠﺔ ﻭﺇﻧﻰ ﺍﻜﺗﺗﺑﺖ ﻔﻰ ﻏﺯﻭﺓ ﻜﺫﺍ ﻭﻜﺫﺍ ﻔﻘﺎﻞ ﺍﻧﻄﻠﻕ ﻤﻊ ﺍﻣﺮﺃﺗﻙ ,  ﻤﺗﻔﻕﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻠﻠﻔﻅ ﺍﻠﻤﺴﻠﻢ.
     “Dari Ibn Abbas, Ia berkata : “ Saya mendengar Rasulullah SAW berkhutbah : Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali bersama mereka ada mahramnya. Dan jangan pula musafir seorang perempuan kecuali disertai mahramnya. Seorang sahabat berdiri lalu berkata : Ya Rasulullah, istri saya keluar untuk melaksanakan haji, sementara saya telah mendaftarkan diri untuk berperang. Nabi bersabda : Berangkatlah bersama istrimu untuk melaksanakan haji.”
Penjelasan
Didalam Islam dilarang keras seorang laki-laki berduaan dengan perempuan tanpa adanya mahram dari si perempuan, dan fakta inilah yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah yang kami kutip diatas. Larangan ber-khalwat dengan perempuan diberlakukan oleh syariat tujuannya tidak lain adalah sebagai usaha preventif terjadinya perzinahan, karena berduaan dengan perempuan dapat memebangkitkan syahwat, dan syahwat merupakan pintu gerbang utama menuju terjadinya dosa besar seperti zina. Padahal Allah SWT telah melarang manusia untuk mendekati zina lebih-lebih melakukannya, dan ber-khalwat dengan perempuan termasuk kepada perbuatan yang mendekati zina. Firman Allah SWT didalam Alquran :
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur Wx‹Î6y ÇÌËÈ
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Al-Israa’ : 32)

4.      Pergaulan Dalam Keluarga
Hadis
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إياكم والدخول على النساء. فقال رجل من الأنصار : يارسول الله ! أفرأيت الحمو؟ قال : الحموالموت
Dari Uqbah bin Amir, bahwa rasulullah saw. Bersabda: “Hindarilah diri kalian dari masuk menemui wanita”. Seorang sahabat Anshar bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana kalau Ipar?”. Rasulullah saw. Bersabdah: “Ipar itu maut (lebih menghawatirkan)”.[41]
Penjelasan
Nabi menerangkan bahwa kerabat-kerabat si suami menjumpai si isteri itu sama dengan menjumpai kematian, karena menyendiri dalam sebuah kamar memudahkan timbul nafsu jahat yang membawa pada kemurkaan Allah dan membawa kepada kebinasaan, atau menyebabkan si suami menceraikan isterinya jika sang suami pencemburu. Jelasnya, takut kepada mudah timbul kejahatan dari kerabat-kerabat itu adalah lebih mudah daripada yang dilakukan oleh yang bukan kerabat. Karena kerabat itu lebih leluasa masuk ke dalam bilik-bilik si perempuan dengan tidak menimbulkan prasangka yang tidak-tidak. Mengingat hal ini lebih perlu dihindari masuk ke dalam bilik tidur orang lain. Dikarenakan jika kita berada dalam satu bilik dengan seorang perempuan yang bukan mahram, dikhawatirkan kita terjembak untuk mengikuti hawa nafsu. Apabila seseorang bergerak mengikutinya meskipun hanya selangkah, ia akan terpaksa untuk mengikuti langkah itu dengan langkah berikutnya.
T.     Pornografi Dan Pornoaksi
1.      Batasan Aurat
Hadis
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”(HR. Muslim)


Penjelasan
Menurut Imam Thabariy, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata; (seperti tertera hadis diatas).[42]




[1] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1155.
[2] Naitul Athar, Jilid 4, h. 607.
[3] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, op.cit., Hadis No.1156
[4] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1154.
[5] Naitul Athar, Jilid 4, h. 612.
[6] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1158.
[7] Naitul Athar, h. 620.
[8] Abdullah bin abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Syarah Hadist Pilihan Bukhairi-Muslim, Terjemahaan: Kathur Suhardi, (Jakarta: Darul-Falah, 2002), H.949-950.
[9] Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, ‘Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm’, Jilid. VI, Hadis Nomor. 1159
[10] Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, ‘Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm’, Jilid. VI, Hadis N0.1157
[11] Naitul Athar, Jilid 4, h.608.
[12] Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, ‘Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm’, jld. VI, hal. 162-166 dan hadis No. 1175
[13] Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis Nomor 1174.
[14] Naitul Athar, Jilid 4, h.631-632.
[15] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1177
[16] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1179
[17] Naitul Athar, Jilid 4, h. 648-649.
[18] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1165
[19] Naitul Athar, Jilid 4, h. 614-615.
[20]Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1167
[21] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1168
[22]Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1169
[23] Naitul Athar, Jilid 4, h.  637.
[24]Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1172
[25] Naitul Athar, Jilid 4, h.646-647. 
[26] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1160
[27] Abdullah bin abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Syarah Hadist Pilihan Bukhairi-Muslim, Terjemahaan: Kathur Suhardi, (Jakarta: Darul-Falah, 2002), h.947-949.
[28] Naitul Athar, Hadis Nomor.4994.
[29] Ibid, Hadis No.4995
[30] Ibid, h.634-635
[31] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.950.
[32] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.962.
[33] Al-Hafizh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadits No. 1285
[34]Imam Muslim Alih Bahasa Achmad Sunarto, Terjemahaan Hadist Shahih Muslim, (Bandung : Husaini, 2001) Nomor Hadis 1052, h.643.
[35] Naitul Athar Jilid 4, Hadis Nomor. 4936.
[36] Naitul Athar Jilid 4, Hadis Nomor. 4937.
[37] Nailtul AtharJilid 4, h.600-601
[38] Naitul Athar Jilid 4, Hadis Nomor. 4940.
[39] Ibid, Hadis Nomor.4941
[40] Ibid, h.603
[41] Hadis ini Dikeluarkan Oleh Imam Muslim, Terjemahaan Shahih Muslim, Hadis Nomor 1432. H. 935.
[42] Imam Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118