Mata
Kuliah : Hadis Hukum Keluarga 2
Dosen
Pengampuh : Prof. Dr. Hj. Enizar,. M.Ag.
A. Hadis Tentang Posisi Hakim
1.
Hadis
Pertama
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( مَنْ وَلِيَ اَلْقَضَاءَ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ ) رَوَاهُ
اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih dengan
pisau." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban. [1]
PENJELASAN:
Syarih
berkata: Perkataan “disembelih tanpa pisau” itu oleh Ibnu shalah dikatakan,
bahwa yang dimaksud dengan kata “sembelih” yaitu dilihat dari segi makna.
Karena dia akan berada diantara adzab dunia dan adzab akhirat. Adzab dunia
(dalam arti kata kesengsaraan- pen), jika ia jujur; dan adzab akhirat kalau dia
tidak jujur. Kata syarih berikutnya: hadis ini disampaikan sebagai peringatan
buat para qadhi.[2]
2.
Hadis
Kedua.
وَعَنْهُ
رضي الله عنه قَالَ:قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّكُمْ
سَتَحْرِصُونَ عَلَى اَلْإِمَارَةِ, وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ,
فَنِعْمَ اَلْمُرْضِعَةُ, وَبِئْسَتِ اَلْفَاطِمَةُ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"sesungguhnya kamu akan sangat berkeinginan menjadi pemimpin, sedangkan
kekuasaan itu akan menjadi suatu pennyesalan nanti di hari kiamat. Oleh karena
itu alangkah senangnya anak yang masih menyusu dan alangkah sedihnya anak yang
disapih” Riwayat Bukhari.[3]
B.
Tipologi
Hakim
-
Hadis
عَنْ
بُرَيْدَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (
اَلْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: اِثْنَانِ فِي اَلنَّارِ, وَوَاحِدٌ فِي اَلْجَنَّةِ.
رَجُلٌ عَرَفَ اَلْحَقَّ, فَقَضَى بِهِ, فَهُوَ فِي اَلْجَنَّةِ. وَرَجُلٌ عَرَفَ
اَلْحَقَّ, فَلَمْ يَقْضِ بِهِ, وَجَارَ فِي اَلْحُكْمِ, فَهُوَ فِي اَلنَّارِ.
وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ اَلْحَقَّ, فَقَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ, فَهُوَ فِي
اَلنَّارِ ) رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ [4]
Dari Buraidah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga.
Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga;
seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di
neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk
masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka." Riwayat Imam Empat.
Hadits shahih menurut Hakim.
-
PENJELASAAN:
Perkataan “hakim
itu ada tiga... dst.” Itu menunjukan suatu kebodohaan orang yang mau memangku
jabatan ini padahal dia tidak mengerti dan menyeleweng, dengan itu dia akan
masuk neraka.[5]
C.
Perlunya
Kesetabilan Jiwa hakim.
-
Hadis
وَعَنْ
أَبِي بَكْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
يَقُولُ: ( لَا يَحْكُمُ أَحَدٌ بَيْنَ اِثْنَيْنِ, وَهُوَ غَضْبَانُ ) مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ[6]
Abu Bakrah
Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Janganlah seseorang menghukum antara dua orang dalam
keadaan marah." Muttafaq Alaihi
-
PENJELASAAN:
Syarih berkata: Perkataan “janganlah seorang hakim
memutuskan perkara... dst.” (Hadist 4971 kalau dibuku Kitab Naitul Athar) itu,
oleh al-Muhallab dikatakan, bahwa sebab adanya larangan ini. Karena memutuskan
hukum dalam keadaan marah itu kadang-kadang bisa menyimpang dari hukum
sebenarnya. Itulah sebabnya, maka hal tersebut dilarang. Begitulah, sebagaimana
dikatakan oleh para fuqahaul Amshar. Sedang ibnu Daqiqil ‘Id mengatakan: Bukan
saja karena marah, bahkan termasuk juga keputusan yang diambil tanpa analisis
yang mendalam dikarenakan sesuatu sebab, seperti ketika sedang lapar, haus,
mengantuk dll. Yang ada hubunganya dengan masalah hati.
Sementara Jumrur juga berpendapat, bahwa kalau ada seorang
hakim memutuskan hukum dalam keadaan marah. Tetapi ternyata hukum itu benar,
maka hukumnya itu dipandang sah.[7]
Kesimpulan hadist:
1. Disini terkandung kesimpulan bahwa seorang
qadhi tidak boleh memutuskan perkara diantara dua orang yang berpekara, padahal
dia dalam keadaan marah. Dikatakan didalam Al-Uddah Syarah Al-‘Umdah, “kami
tidak mengetahui perbedaan pendapat tentang hal ini dikalangan ulama.”
2. Alasan larangan tersebut, karena amarah
dapat mengacaukan pikiran qadhi sehingga menghambatnya untuk mempertimbangkan
dakwaan secara benar dan menelusuri keadaan.
3. Berdasarkan makna ini, para ulama
memperlakukan segala apapun yang menghambat qadhi dalam mempertimbangkan
perkara dan yang dapat menganggu pikiran, berupa rasa lapar atau kenyang yang
membuatnya tenang, atau kesusahaan yang membuatnya gelisa atau udarah dingin
dan panas yang terlalu menyengat atau berbagi hal yang dapat menganggu perasaan
dan pikirannya.
4. Jika seorang qadhi memutuskan perkara dalam
sebagian kondisi seperti ini dan keputusannya benar, maka keputusannya sah dan
dapat dilaksanakan.
5. Didalam hadist ini terkandung nasihat bagi
orang muslim, terutama bagi ulil-amri, yang jika kedaan mereka baik dan lurus,
maka keadaan orang muslim pun benar dan lurus. Menyampaikan nasihat dengan cara
baik termasuk qurbahdan ketaatan yang paling utama, dan sekaligus merupakan
sarana yang paling diharapkan untuk memperbaiki keadaan mereka.[8]
D.
Cara Kerja Hakim
-
Hadis
وَعَنْ
عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا
تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ, فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ, حَتَّى تَسْمَعَ كَلَامَ
اَلْآخَرِ, فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي. قَالَ عَلِيٌّ فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا
بَعْدُ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ,
وَقَوَّاهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Dari Ali
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Apabila ada dua orang meminta keputusan hukum kepadamu, maka janganlah
engkau memutuskan untuk orang yang pertama sebelum engkau mendengar keterangan
orang kedua agar engkau mengetahui bagaimana harus memutuskan hukum." Ali
berkata: Setelah itu aku selalu menjadi hakim yang baik. Riwayat Ahmad, Abu
Dawud dan Tirmidzi. Hadits hasan menurut Tirmidzi, dikuatkan oleh Ibnu
al-Madiny, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban.
Ada hadits saksi
riwayat Hakim Ibnu Abbas.
E. Ijtihad Hakim
-
Hadis
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي
الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: إِذَا
حَكَمَ اَلْحَاكِمُ, فَاجْتَهَدَ, ثُمَّ أَصَابَ, فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا
حَكَمَ, فَاجْتَهَدَ, ثُمَّ أَخْطَأَ, فَلَهُ أَجْرٌ[10]
Dari ‘Amru bin ‘Ahs mendengar Rasululah SAW,
Bersabdah: apabilah seorang hakim berijtihad ternyata ijtihadnya itu salah,
maka ia akan mendapatkan satu pahala, dan kalau ijtihadnya itu benar, maka dia
akan mendapatkan dua pahala. (Dikeluarkan Oleh Bukhairi dan Muslim).
-
PENJELASAAN:
Optimisme ini hanyalah bagi para qadhi yang adil yang tidak
minta jabatan tersebut, tidak minta bantuan kepada orang lain untuk
menolongnya. Tetapi keputusanya itu adalah karena pengetahuanya terhadap
al-qur’an dan Sunnah; dan itulah yang dijadikan standar membedakan antara yang
hak dengan yang batil.
Kata Syarih selanjutnya; Tetapi banyak sekali orang bodoh
yang mencari-cari jabatan yang muliah ini, bahkan dibelinya dengan harga dengan
harga mahal. Orang yang demikian itu adalah sebodh-bodoh orang, sehinggah
berakibat malapetaka melanda dimana-mana.[11]
F. Dakwaan
/ Gugatan
Hadis
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم قَالَ: ( لَوْ يُعْطَى اَلنَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ, لَادَّعَى نَاسٌ
دِمَاءَ رِجَالٍ, وَأَمْوَالَهُمْ, وَلَكِنِ اَلْيَمِينُ عَلَى اَلْمُدَّعَى
عَلَيْهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
وَلِلْبَيْهَقِيِّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ ( اَلْبَيِّنَةُ عَلَى
اَلْمُدَّعِي, وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ )
Dari Ibnu ‘Abbas –radliallâhu 'anhuma- bahwasanya
Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Andaikata (semua) manusia diberi (kebebasan) dengan dakwaan
masing-masing, niscaya (ada saja) manusia yang mendakwa darah orang-orang
(bahwa mereka membunuh) dan harta benda mereka (bahwa itu adalah hartanya),
akan tetapi (pembuktiannnya adalah dengan cara) bersumpah oleh orang yang
mengingkarinya (si terdakwa)”. (Muttafaqun ‘alaih)…
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
al-Baihaqy dengan sanad yang shahih disebutkan: “(Mendatangkan) ‘bayyinah’ (wajib) atas pendakwa dan (mengucapkan)
sumpah (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”.
PENJELASAN:
Definisi
Kata
‘Dakwa’ atau ‘Dakwaan’ asalnya dari bahasa Arab, yaitu dari kata ‘Da’wâ’
(bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘âwâ), yaitu “menyandarkan (mengklaim) kepemilikan
sesuatu yang berada di tangan orang lain atau di bawah tanggungjawab orang
tersebut kepada dirinya”.
Sedangkan
kata ‘al-Mudda’iy’ (Pendakwa) adalah orang yang menuntut haknya kepada orang
lain dengan mengklaim kepemilikannya terhadap hal yang dituntutnya tersebut …
Adapun
kata ‘Bayyinah’, terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya;
· Ia adalah
tanda/bukti yang jelas, seperti adanya seorang saksi menurut madzhab Imam
Ahmad.
· Ibnu
al-Qayyim tidak membatasi makna ‘Bayyinah’ pada ‘saksi’ saja tetapi lebih
umum dari itu; ia adalah sebutan untuk segala sesuatu yang dapat menjelaskan
dan mengungkap kebenaran (al-Haq). Beliau menyatakan bahwa pihak yang hanya
memfokuskan pada makna ‘dua orang saksi’, ‘empat saksi’ atau ‘seorang saksi’,
berarti mereka belum memberikan definisi yang semestinya terhadap penamaannya
sebagai ‘bayyinah’. Di dalam al-Qur’an, ‘al-Bayyinah’ tidak pernah sama
sekali dimaksudkan sebagai ‘dua orang saksi (asy-Syâhidân)’ tetapi
dimaksudkan sebagai ‘al-Hujjah’ ‘ad-Dalîl’ dan ‘al-Burhan’, baik dalam bentuk
mufrad (singular) ataupun jama’ (plural). Memang ‘asy-Syâhidân’ (dua orang
saksi) merupakan bagian dari ‘al-Bayyinah’ tetapi hal ini tidak menafikan
selain keduanya sebagai jenis lain darinya dimana bisa jadi yang selainnya
tersebut justeru lebih kuat dan akurat untuk menunjukkan secara kondisional
kebenaran si pendakwa. Petunjuk kondisional ini adalah lebih kuat dari pada
petunjuk yang di dapat melalui berita seorang saksi. Kata al-Bayyinah,
ad-Dilâlah, al-Hujjah, al-Burhân, al-‘Alâmah dan al-Amârah dari sisi maknanya
mirip satu sama lainnya. Allah Ta’ala, asy-Syâri’ tidak pernah meniadakan al-Qarâ-in
(bukti), al-Amârât (tanda-tanda) dan petunjuk yang bersifat kondisional. Bagi
orang yang sudah melakukan analisis terhadap sumber-sumber asli syari’at,
akan mendapatkan bahwa ia (syari’at) mempertegas eksistensi hal-hal tersebut
dan mengatur hukum-hukum yang terkait dengannya.
Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Hadits
· Di dalam hadits diatas, Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa siapa saja yang mendakwa dengan suatu
dakwaan terhadap seseorang, maka wajib baginya untuk menghadirkan al-Bayyinah
dan memperkuat dakwaannya tersebut. Jika dia tidak memiliki al-Bayyinah
tersebut, maka si terdakwalah yang harus mengucapkan al-Yamîn untuk menafikan
dirinya dari dakwaan tersebut.
· Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam
menyebutkan hikmah dari kenapa pendakwa harus menghadirkan al-Bayyinah,
sementara si terdakwa harus mengucapkan al-Yamîn. Yaitu, agar jangan sampai
setiap orang dengan seenaknya melakukan dakwaan terhadap orang lain sebab
bila hal itu dibiarkan bebas, niscaya orang-orang yang tidak membiasakan
dirinya selalu di bawah pengawasan Allah Ta’ala dengan entengnya akan
melayangkan dakwaan secara dusta terhadap darah atau harta orang-orang yang
tidak bersalah/berdosa. Akan tetapi Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui telah memberikan batasan dan hukum untuk hal tersebut
sehingga tindakan kejahatan, kezhaliman serta kerusakan dapat diminimalisir. Syaikh
Ibnu Daqîq al-‘Îed berkata: “Hadits tersebut menunjukkan bahwa
tidak boleh melakukan tindakan hukum kecuali dengan hukum syari’at yang telah
diatur, meskipun ada perkiraan yang lebih berat untuk membenarkan pendakwa”.
· al-Yamîn harus diucapkan oleh si terdakwa
dan al-Bayyinah harus dihadirkan oleh si pendakwa sebagaimana terdapat di
dalam riwayat al-Baihaqy. Kenapa demikian? Karena al-Yamîn menempati posisi
terkuat dari dua orang yang mengajukan gugatan, dan pihak terdakwa merupakan
orang yang kuat bilamana dari pihak pendakwa tidak menghadirkan al-Bayyinah
sebab hukum asalnya adalah terlepasnya diri si terdakwa dari semua dakwaan
tersebut sehingga darinya cukup mengucapkan al-Yamîn. Syaikh Ibnu al-Qayyim
berkata: “Yang ada di dalam syari’at bahwa al-Yamîn disyari’atkan dari pihak
yang terkuat dari dua pihak yang saling menggugat. Siapa saja pihak yang
dirasa lebih kuat dari kedua orang yang bersengketa, maka al-Yamîn diambil
dari sisinya. Ini adalah pendapat Jumhur ulama seperti Ahli Madinah dan
Fuqaha’ Ahli Hadits semacam Imam Ahmad, asy-Syafi’i, Malik dan selain mereka.
· Yang dimaksud dengan al-Bayyinah menurut
kebanyakan para ulama adalah para saksi (asy-Syuhûd), sumpah (al-Aymân) dan
pencabutan gugatan (an-Nukûl). Sedangkan menurut al-Muhaqqiqun (para ulama
kritikus) al-Bayyinah adalah sebutan bagi setiap sesuatu yang dapat
menjelaskan dan mengungkap kebenaran, baik berupa para saksi, bukti-bukti
secara langsung/kondisionil ataupun penyebutan kriteria oleh pendakwa seperti
halnya di dalam penyebutan kriteria al-Luqathah (barang temuan/hilang). Syaikh
Ibnu Rajab berkata: “Setiap barang yang tidak diklaim lagi oleh pemiliknya,
kemudian ada orang yang mampu menyebutkan kriteria dan ciri-cirinya yang
masih samar, maka barang tersebut adalah miliknya. Jika ada orang yang
mempersengketakan apa yang sudah ada di tangannya, maka ia masih tetap
miliknya bila mengucapkan al-Yamîn (sumpah) selama pendakwa tidak dapat
menghadirkan al-Bayyinah yang lebih kuat darinya”.
Syaikh Ibnu al-Qayyim berkata: “al-Bayyinah di dalam kalam Allah, sabda Rasul-Nya dan ucapan para shahabat adalah sebutan bagi setiap sesuatu yang dapat menjelaskan al-Haq. Jadi ia lebih bersifat umum bila dibanding dengan terminologi al-Bayyinah yang digunakan oleh kalangan para Fuqaha’ dimana mereka mengkhususkan maknanya pada seorang saksi atau seorang saksi dan al-Yamîn saja. Terminologi tersebut tidak dapat dijadikan acuan selama tidak mencakup Kalam Allah dan sabda Rasul-Nya. Terminologi yang semacam itu dapat menjerumuskan kepada kekeliruan di dalam memahami nash-nash bahkan mengarahkannya kepada selain makna yang diinginkan”.
· Hadits diatas merupakan prinsip yang agung
dan merupakan salah satu prinsip di dalam al-Qadla’ (mahkamah/peradilan).
Kebanyakan produk-produk hukum yang lain berporos pada prinsip yang agung
ini.
· Hadits tersebut memiliki kedudukan yang
tinggi dan merupakan salah satu prinsip utama di dalam al-Qadla’ dan
hukum-hukum. Menerapkan al-Qadla’ di tengah manusia dapat dilakukan ketika
terjadi perselisihan dimana satu pihak mendakwa haknya terhadap pihak yang
lain dan pihak yang lain ini menolak dan berlepas diri darinya.
· Barangsiapa yang mendakwa orang lain dalam
hal yang berupa barang, agama atau hak sementara dakwaan itu diingkari oleh
si terdakwa, maka pada prinsipnya kebenaran berada di pihak si terdakwa yang
mengingkari ini karena hukum asalnya adalah bahwa dirinya terlepas dari semua
tuntutan; Jika pendakwa menghadirkan al-Bayyinah yang menguatkan haknya maka
ia adalah miliknya dan jika tidak menghadirkannya, maka yang dituntut dari si
terdakwa terhadapnya hanyalah mengucapkan al-Yamîn untuk menafikan dakwaan
tersebut.
· Hadits diatas mendukung pendapat Jumhur
ulama, diantaranya ulama madzhab Syafi’i dan Hanbaly yang menyatakan bahwa
al-Yamîn diarahkan kepada si terdakwa baik antara dirinya dan si pendakwa
pernah saling mengenal ataupun tidak. Sedangkan menurut madzhab ulama Maliky
dan Ahli Madinah, diantaranya tujuh fuqaha’-nya (al-Fuqahâ’ as-Sab’ah) bahwa
al-Yamîn tidak dapat diarahkan kepada orang yang diantaranya dan si pendakwa
pernah saling mengenal. Ini dimaksudkan agar orang-orang yang iseng tidak
dengan seenaknya dapat memaksakan orang-orang yang dihormati (tokoh atau
ulama) untuk bersumpah.
· Orang yang memiliki hutang atau hak yang
permanen dan legitimit terhadap sesuatu sedangkan dia dituntut untuk
membuktikannya, lalu kemudian ada orang lain yang mendakwa bahwa
hak/tanggungannya tersebut dapat lepas dari dirinya (pemilik asal) dengan
banyak cara seperti memenuhi janji yang telah disetujuinya, menggugurkannya,
jalan damai atau lainnya; maka hukum asalnya adalah bahwa apa yang menjadi
hak/tanggungan pemilik asal tetap berlaku. Jika si pendakwa tersebut tidak
menghadirkan al-Bayyinah atas telah dipenuhinya janji tersebut atau
terlepasnya tanggungan tersebut dari diri terdakwa (pemilik asal), maka yang
dituntut dari pemilik asal (terdakwa) untuk menyanggah pendakwa adalah
mengucapkan al-Yamîn bahwa hak/tanggungannya tersebut masih tetap berlaku dan
legitimit karena hukum asalnya adalah masih berlakunya sesuatu seperti
sediakala.
· Demikian juga halnya dengan dakwaan
terhadap ‘Uyûb (cacat suatu barang), asy-Syurûth (syarat sesuatu),
al-Âjâl (masa waktu sesuatu) dan al-Watsâ-iq (bukti penguat sesuatu).
Hukum asal semuanya adalah bahwa hal tersebut tidak pernah ada dan terjadi
sehingga tidak perlu menanggapinya. Barangsiapa yang mendakwanya, maka
hendaknya dia menguatkannya dengan al-Bayyinah ; jika tidak ada, maka orang
yang mengingkarinya (si terdakwa) harus mengucapkan al-Yamîn.
· Hadits ini merupakan prinsip utama di dalam
proses ‘al-Murâfa’ât’ (code of procedure/hukum acara). Manhaj yang telah
digariskan oleh prinsip ini di dalam menyelesaikan dakwaan merupakan solusi
yang jitu guna mencegah merajalelanya dakwaan-dakwaan bathil yang tidak
beralasan serta dapat mengokohkan suatu hak kepada pemiliknya.
· Para Ulama Kritikus mengatakan:
“Sesungguhnya syari’at ini menjadikan al-Yamîn sebagai aspek yang paling kuat
dari sisi hukum baik ia bersumber dari pendakwa ataupun si terdakwa”. Wallahu
a’lam. Ibnu al-Mundzir berkata: “Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa
al-Bayyinah harus dihadirkan oleh si pendakwa dan al-Yamîn harus diucapkan
oleh orang yang mengingkari (si terdakwa)”.
· Syaikh Ibnu Rajab di dalam syarahnya
terhadap hadits al-Arba’în berkata: “Makna sabda beliau (artinya):
“(Menghadirkan) ‘al-Bayyinah’ (wajib) atas pendakwa”, yakni bahwa dengan
al-Bayyinah tersebut dia berhak terhadap dakwaannya karena ia adalah suatu
kewajiban atasnya yang harus dipegang. Sedangkan makna sabda beliau:
“(mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si
terdakwa)”, yakni dengan al-Yamîn tersebut, dia terbebas dari segala dakwaan
karena ia wajib atasnya dan harus dipegang dalam kondisi apapun.
· Ibnu Rajab juga mengatakan: “Bila si
pendakwa menghadirkan seorang saksi, maka ini akan memperkuat posisinya dan
bila ditambah dengan sumpah, maka putusan berpihak padanya”.
· Beliau juga menambahkan: “al-Bayyinah
adalah setiap sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran dakwaan si pendakwa
dan menjadi saksi atas kejujurannya sedangkan al-Lawts * dan jenis-jenisnya adalah
juga termasuk al-Bayyinah. Dan saksi (asy-Syahid) bila diperkuat dengan
al-Yamîn juga menjadi al-Bayyinah. * al-Lawts adalah sesuatu yang menunjukkan
atas kejadian sesuatu, seperti adanya ceceran darah di tempat kejadian,
dsb…semacam ‘alibi’. Ia bisa dikategorikan sebagai ‘bukti pendukung’, wallahu
a’lam-red.
· Beliau juga mengatakan: “Dan sabda beliau
shallallâhu 'alaihi wa sallam (artinya): “Andaikata (semua) manusia diberi
(kebebasan) dengan dakwaan-dakwaan mereka…” menunjukkan bahwa si pendakwa atas
darah dan harta seseorang harus menghadirkan al-Bayyinah yang menunjukkan
kebenaran dakwaannya. Termasuk juga di dalam keumuman makna hadits tersebut
adalah kondisi dimana si terdakwa yang didakwa oleh seseorang telah membunuh
muwarrits -nya (muwarrits adalah orang mati yang meninggalkan warisan
sehingga menyebabkan dirinya menjadi ahli waris seperti ayah, dst) sedangkan
dia hanya memiliki al-Bayyinah yang berupa ucapan orang yang terbunuh
tersebut (muwarrits); “si fulan-lah yang telah melukaiku”. Kondisi
al-Bayyinah seperti ini tidak cukup baginya dan al-Lawts tidak dapat terjadi
hanya karena itu. Ini adalah pendapat Jumhur ulama. Berbeda dengan pendapat
madzhab Maliky yang menjadikan ucapan muwarrits tersebut sebagai bentuk
al-Lawts yang harus dibarengi dengan sumpah para walinya sehingga pendakwa
berhak atas dakwaannya terhadap darah tersebut.
· Beliau juga mengatakan: “Dan sabdanya
shallallâhu 'alaihi wa sallam : “(mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang
yang mengingkarinya (si terdakwa)” menunjukkan bahwa setiap orang yang
didakwa dengan suatu dakwaan, lalu dia mengingkarinya, maka wajib atasnya
mengucapkan al-Yamîn. Ini adalah pendapat mayoritas Fuqaha’. Sedangkan Imam
Malik mengatakan: “Orang yang mengingkari (si terdakwa) wajib mengucapkan al-Yamîn
bilamana antara kedua orang yang saling menggugat pernah ada semacam
percampuran (antara satu sama lain pernah saling mengenal). Sebab bila tidak,
dikhawatirkan ada sementara orang-orang yang iseng dengan seenaknya
mempermainkan al-Yamîn di hadapan para pemimpin seperti yang pernah terjadi
terhadap Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah.
Beliau mengisahkan: “Suatu ketika kami berhadapan dengan wakil seorang Sultan dan posisiku berada di sampingnya, tiba-tiba ada sebagian hadirin yang mendakwa diriku bahwa aku masih memegang barang titipannya, lalu dia meminta agar aku didudukkan bersamanya dan bersumpah. Lalu aku berkata kepada Qadli/Hakim madzhab Maliky yang waktu itu juga hadir: “Apakah dakwaan semacam ini berlaku dan dapat didengar?”. Dia menjawab: “Tidak”. Aku berkata lagi: “Lalu apa putusan di dalam madzhabmu terhadap hal seperti ini?”. Dia menjawab: “Si pendakwa harus dita’zir”. (diberi sanksi oleh sultan/penguasa-red). Aku berkata: “Kalau begitu, berilah putusan seperti di dalam madzhabmu itu!”. Lalu si pendakwa itu disuruh berdiri dan ditarik keluar dari majlis itu.
· asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’dy
rahimahullah berkata - mengomentari sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa
sallam (artinya) -: ‘(Menghadirkan) ‘al-Bayyinah’ (wajib) atas pendakwa dan
(mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si
terdakwa)’ “Sungguh ini merupakan ucapan yang amat menyentuh dan komplit. Ia
melingkupi seluruh peristiwa dan bagian-bagiannya yang terjadi di tengah umat
manusia dalam segala hak mereka. Ucapan ini merupakan suatu prinsip yang
melandasi seluruh problematika yang timbul. Ia dapat mencakup beberapa
kondisi berikut :
1.
kondisi orang
yang mendakwa hak orang lain sedangkan si terdakwa mengingkarinya.
2.
kondisi orang yang telah mantap haknya (permanen/legitimit)
lalu mendakwa berlepas diri darinya sementara pemilik hak (asli) tersebut
mengingkarinya.
3.
kondisi orang yang telah mantap di tangannya
kepemilikan terhadap sesuatu lalu ada orang lain yang mendakwa kepemilikannya
terhadap sesuatu tersebut sedangkan pemiliknya ini mengingkarinya.
4.
kondisi dua orang yang telah bersepakat dengan suatu
‘aqad lalu salah satu dari keduanya mendakwa bahwa ‘aqad itu cacat karena ada
syarat yang tertinggal atau semisalnya sementara yang seorang lagi
mengingkari hal itu; maka ucapan yang harus dipegang (menjadi acuan) adalah
ucapan yang mendakwa tidak adanya cacat tersebut.
5. kondisi
orang yang mendakwa terhadap suatu syarat, cacat, tenggang waktu tertentu dan
semisalnya sementara yang lainnya mengingkari hal itu, maka ucapan yang harus
dipegang (menjadi acuan) adalah ucapan orang yang mengingkarinya (si
terdakwa). Dan banyak lagi kondisi lainnya yang masuk ke dalam cakupan kaidah
diatas”.[12]
G. Pembuktian
Hadis
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا ( أَنَّ
رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَضَى بِيَمِينٍ وَشَاهِدٍ ) أَخْرَجَهُ
مُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَقَالَ: إِسْنَادُهُ جَيِّد
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه مِثْلَهُ أَخْرَجَهُ
أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان َ[13]
Dari Ibnu Abbas
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
memutuskan suatu perkara dengan sumpah dan seorang saksi. Riwayat Muslim, Abu
Dawud dan Nasa'i. Ia berkata: Sanad hadits itu baik.
Ada hadits
serupa dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban
Penjelasaan:
Syarih berkata: hadist-hadist
dalam bab ini dijadikan hujjah oleh segolongan sahabat dan tabi’in serta
tabi’ut tabi’in tentang bolehnya memutuskan suatu perkara berdasar seorang
saksi dan sumpah. Sedang daraquthni meriwayatkan dari hadis ‘amr bin syuib,
dari ayahnya, dari datuknya, bahwa nabi SAW, bersabdah:
Allah dan rasulnya memutuskan perkara yang benar dengan (berdasar)
dua saksi. Maka jika (pihak yang mengadu itu) bisa membawa dua orang saksi,
dia bisa memperoleh haknya, tetapi jika dia hanya bisa membawa seorang saksi,
maka dia disumpah bersama (kesaksian) saksinya itu.
Imam syafi’i mengatakan: bahwa
keputusan dengan (berdasar) seorang saksi dan sumpahnya itu tidak menyalahi
zahirnya al-qur’an, karena al-qur’an tidak melarang tentang kebolehaan
(menampilkan saksi) kurang dari apa yang telah ditetapkan (dengan nash) itu.[14]
H. Ancaman Sumpah Palsu
-
Hadis
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْحَارِثِيُّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنْ اِقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
بِيَمِينِهِ, فَقَدْ أَوْجَبَ اَللَّهُ لَهُ اَلنَّارَ, وَحَرَّمَ عَلَيْهِ
اَلْجَنَّةَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ
اَللَّهِ؟ قَالَ: وَإِنْ
قَضِيبٌ مِنْ أَرَاكٍ ) رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
Dari Abu Umamah
al-Haritsi Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Barangsiapa mengambil hak milik seorang muslim dengan
sumpahnya, maka Allah mengharuskan dirinya masuk neraka dan mengharamkan
baginya surga." Ada seseorang bertanya: Walaupun sedikit, wahai
Rasulullah?. Beliau menjawab: "Walaupun sepotong dahan pohon arak."
Riwayat Muslim. [15]
|
I.
Penyelesaian
Perkara yang Tidak Punya Alat Bukti
Hadis
وَعَنْ
أَبَى مُوسَى اَلْأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه ( أَنَّ رَجُلَيْنِ اِخْتَصَمَا إِلَى
رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي دَابَّةٍ, لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا
بَيِّنَةٌ, فَقَضَى بِهَا رَسُولُ اَللَّهِ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ ) رَوَاهُ
أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ وَهَذَا لَفْظُهُ, وَقَالَ:
إِسْنَادُهُ جَيِّد [16]
Dari Abu Musa
Radliyallaahu 'anhu bahwa ada dua orang yang bersengketa masalah seekor hewan.
Tidak seorang pun di antara mereka yang memiliki bukti. Maka Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memutuskan bahwa keduanya mendapatkan setengah.
Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Lafadz hadits menurut Nasa'i dan ia
berkata: sanadnya baik.
PENJELASAAN:
Syarih
berkata: perkataan “lalu nabi SAW. Membagi antara kedua orang tersebut dua bagian”
itu menunjukan, bahwa jika ada dua orang berebut masalah binatang ataupun
lainnya, lalu masing-masing mengakui sebagai pemiliknya. Padahal mereka tidak
membawa bukti (saksi) dan barang tersebut ditangan mereka berdua, maka
masing-masing (hanya boleh) mengakui separuh. Kemudian jika mereka membawa
bukti (saksi). Maka kedua pengakuan mereka itu menjadi gugur, dan kedua bagian
tersebut dianggap tidak ada, lalu si hakim memutuskan kedua bagian itu dibagi
rata antara mereka berdua dengan sama. [17]
J.
Risywah
Kepada Hakim
Hadis
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم اَلرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي اَلْحُكْمِ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ,
وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
وَلَهُ
شَاهِدٌ: مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اَللَّهِ بنِ عَمْرٍو عِنْدَ اَلْأَرْبَعَةِ إِلَّا
النَّسَائِيَّ[18]
Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat
penyuap dan penerima suap dalam masalah hukum. Riwayat Ahmad dan Imam Empat.
Hadits hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Ibnu Hibban.
Hadits tersebut
mempunyai hadits saksi riwayat Imam Empat selain Nasa'i dari Abdullah Ibnu Amar
PENJELASAAN:
Syarih
berkata: Menurut Ibnu Ruslan, risywah (suap) ini meliputi hakim dan amil zakat.
Risywah ini haram. Menurut ijama ulama. Sementara Abu wail mengatakan: apabilah
seorang hakim menerima hadiah. Maka berarti dia makan barang haram. Dan
apabilah menerimah suap. Maka sampai pada kufur.
Syarih
(Syaikuni) berkata:, bahwa hadiah kepada hakim dsb. Itu adalah suatu bentuk
risywah. Sebab seorang memberi hadiah kalau belum merupakan kebiasaan kepada
hakim sebelum dia diangkat sebagai hakim, sudah pasti hadiahnya itu ada
tendensi tertentu: mungkin untuk memperkuat kebatilannya atau sebagai upaya
untuk mencari kemenangan. Semua itu adalah haram. Paling tidak bertujuan supaya
dekat dengan hakim, lalu hakim menghargainya dan mau memperlihatkan
omongnannya. Tujtuannya tidak lain adalah demi meminta bantuan untuk
mengalahkan lawannya atau untuk mencari keselamatan dari berbagai tuntan para
alwannya itu. Yang pada gilirannya sihakim akan marah kepada orang yang
seharusnya dipihak benar dan orang yang seharusnya tidak perlu takut akhirnya
menjadi takut. Inilah tujuan-tujuan dan
latar belakang yang dituju oleh risywah itu. Justru hendaklah para hakim selalu
berhati-hati demi memperthankan keagamannya, guna bersiap-siap menuju tuhannya.
Kirannya para hakim jangan sampai mau menerimah hadiah sebab setiap kebaikan
itu secara tabi’i akan selalu menuntut balas jasa, karena hati manusia itu
sangat berpengaruh oleh baik budi seseorang. Mungkin saja hatinya cendrung
kesitu tanpa disadari.[19]
K.
Hadiah
kepada petugas yang sedang menjalankan tugasnya dan hakim.
Hadis
الِىْ أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ
فَيَقُوْلُ: هَدَا لَكُمْ وَهَدَا الِيْ هَدِيَةٌ ؟ أَللاَ جَلَسَ فِيْ بَيْتِ
أُمِّهِ لِيُهْدَى لَهُ ! وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ, لَا بَأْ خُذُ أَحَدُكُمْ
مِنْكُمْ شَيْـئًابِغَيْرِ حَقٍّ إِلْاَ أَتَّى اللهَ يَحْمِلُهُ يَعْنِى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ فَلاَ يَأْ تِيَّنَ اَحَدُ كُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِبَعِيْرٍ لَهُ
رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خَرَارُ, أَوْ شَاةٌ تَيْعَرَ, ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ
حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ: اَللَّهُمَّ هَلْ بَلَغْتُ؟ (متفق
عليه)
Artinya:
mengapa saya mempekerjakan seorang laki-laki dari antara kamu kemudian ia
mengatakan ini untuk mu dan ini hadiah untuk mu? Mengapa tidak saja tinggal di
rumah ibunya supaya di beri hadiah demi zat yang diriku di tanggannya! Salah
seorang diantara kamu tidak akan mengambil sesuatu dengan cara yang tidak benar
melainkan dia akan menghadap Allah-kelak di hari kiamat-sambil mengambil benda
tersebut. Sesungguhnya salah seorang di antara kamu tidak akan datang nati di
hari kiamat dengan membawa unta yang melengguh atau sapi yang menguwak atau
kambing yang mengembik. Kemudian nabi mengangkat kedua tangannya sampai
putihnya kedua ketiaknya tampak, seraya mengatakan: ya Allah sudahkah saya
sampaikan ini?! (HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan
Kalau sudah demikian kerasnya larangan ini, maka
sepatutnya seorang hakim atau penguasa dan orang-orang yang tergolong hakim
atau penguasa mengira-ngirakan dirinya suatu tinggal bersma ayah dan ibunya.
Kalau dia di beri hadiah sesudah memisahkan diri tetapi waktu itu masih tinggal
bersama ibunya, maka boleh di terimanya ketika dia sedang memangku jabatan
tetapi, kalau dia tau bahwa pemberian itu karna jabatanya maka haram dia
menerimanya hadiah-hadiah kawanya yang masih disangsikan atau kah kalau dia
keluar dari jabatan, bahwa mereka itu akan memberinya. Maka hal ini dianggap
sebagai barang subhat oleh karna itu jauhilah. Karena Hadiah yang ada kaitannya
dengan tugas, akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan tugas, bahkan dapat
membawa kepada pelalaian tugas, dan pelaksanaan tugas akan berorientasi pada
hadiah atau finansial. Juga akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tugas
tidak sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ada. Pegawai yang sudah atau
dijanjikan mendapatkan hadiah, mungkin akan bekerja sesuai dengan pesanan
pemberi hadiah. Dengan demikian, hadiah yang tidak ada kaitannya dengan
pelaksanaan tugas dan wewenang boleh diterima, karena tidak ada kaitannya dan
tidak berpengaruh terhadap pelaksaan tugas.
L.
Keretariah
saksi yang baik
Hadis
عَنْ
زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيِّ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه
وسلم قَالَ: ( أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ اَلشُّهَدَاءِ؟ اَلَّذِي يَأْتِي بِشَهَادَتِهِ قَبْلَ أَنْ
يُسْأَلَهَا ) رَوَاهُ مُسْلِم [20]ٌ
Dari Zaid Ibnu
Kholid al-Juhany bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Maukah kalian aku beritahu sebaik-baik persaksian? Yaitu orang yang
datang memberi saksi sebelum diminta persaksiannya." Riwayat Muslim
وَعَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم ( إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِي, ثُمَّ اَلَّذِينَ يَلُونَهُمْ, ثُمَّ اَلَّذِينَ
يَلُونَهُمْ, ثُمَّ يَكُونُ قَوْمٌ يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ,
وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ, وَيَنْذُرُونَ وَلَا يُوفُونَ, وَيَظْهَرُ
فِيهِمْ اَلسِّمَنُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ[21]
Dari Imran Ibnu
Hushoin Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Sebaik-baik orang di antara kamu ialah (hidup) seabad denganku,
lalu orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka; setelah itu
datanglah suatu bangsa yang memberi persaksian padahal mereka tidak diminta
menjadi saksi, mereka berkhianat padahal mereka tidak diberi amanat, mereka
bernadzar dan tidak memenuhinya, dan tubuh mereka tampak gemuk." Muttafaq
Alaihi
Penjelasaan:
Syarih berkata: Yang dimaksud orang-orang yang seangkatan
dengan Nabi SAW, ialah para sahabat, sedangkan angkatan sesudahnya ilah
tabi’in; dan angkatan seudah tabi’in adalah tabi’ut tabi’in.
Ibnu hajar mengatakan: jawaban yang paling
baik, bahwa yang dimaksud hadis zaid yaitu suatu kesaksian terhadap seseorang
dengan benar, tetapi tidak diketahui siapa yang menyaksikan itu, lalu ia datang
sendiri untuk memberitahukan kepadanya akan kesaksian itu. Atau mungkin juga
orang yang bersangkutan itu meninggal dunia, dan digantikan oleh ahli warisnya,
lalu si saksi itu datang kepada ahli warisnya untuk memberitahukan kepada
mereka apa yang dia ketahuinya.
M. Syarat Saksi.
Hadis
وَعَنْ
عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ خَائِنٍ, وَلَا خَائِنَةٍ,
وَلَا ذِي غِمْرٍ عَلَى أَخِيهِ, وَلَا تَجُوزُ شَهَادَةُ اَلْقَانِعِ لِأَهْلِ
اَلْبَيْتِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ[22]
Dari Abdullah Ibnu
Amar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Tidak sah persaksian seorang laki-laki dan perempuan
pengkhianat, persaksian orang yang menyimpan rasa dengki terhadap saudaranya,
dan tidak sah pula persaksian pembantu rumah terhadap keluarga rumah tersebut."
Riwayat Ahmad dan Abu Dawud
Penjelasaan:
Syarih berkata:
Khiyanat yang dimasudkan dalam hadist tersebut, oleh Abu ‘Ubaid dijelaskan, yaitu
kiyanat yang berkenaan dengan hak-hak allah dan hak manusia juga.
Perkataan “dan
orang orang yang menyakiti kawannya” itu, menunjukan, bahwa permusuhan itu
menjadikan penghalang bagi diterimanya suatu kesaksian, karena dengan
permusuhaan itu akan menyebabkan terjadinya tuduhan. Tetapi (Abu Hayyan) dalam
al-Bahrul Muhith mengatakan, bahwa permusuhaan demi membela agama tidaklah
merupakan penghalang.[23]
N. Kesaksian Palsu.
Hadis
وَعَنْ
أَبِي بَكْرَةَ رضي الله عنه ( عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ عَدَّ
شَهَادَةَ اَلزُّورِ فِي أَكْبَرِ اَلْكَبَائِرِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي حَدِيث
ٍ[24]
Dari Abu Bakrah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menggolongkan
persaksian palsu termasuk di antara dosa-dosa yang paling besar. Muttafaq
Alaihi dalam hadits yang panjang.
Penjelasaan:
Syarih berkata:
perkataan “ ketika belau bersandar, lalu duduk” itu menunjukan keseriusaan beliau
dalam masalah ini, sekaligus untuk memberitahukan betapa kerasnya larangan itu
dan betapa pula jeleknya perbuatan tersebut. Sedangkan kemusrikan itu tidak
bisa diterima oleh hati seorang muslim, sementara menyakiti hati itu akan
ditolak oleh tabiat. Adapun dosa, maka faktor-faktor yang membawanya banyak
sekali, misalnya permusuhaan, hasud dsb. Itulah sebabnya maka dosa/dusta ini
perlu ditekankan. Sedangkan omongan dusta itu lebih umum daripada saksi palsu,
karena omongan dusta itu meliputi setiap kedustaan, baik yang nyata, yang
tersembunyi, kebohongan maupun
kedustaan.[25]
O. Penetapan Keputusan
1. Keterbatasaan Hakim
Hadis
وَعَنْ
أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم : ( إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ, وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ
يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ, فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا
أَسْمَعُ, مِنْهُ فَمَنْ قَطَعْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا, فَإِنَّمَا أَقْطَعُ
لَهُ قِطْعَةً مِنَ اَلنَّارِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ[26]
Dari Ummu Salamah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya engkau sekalian selalu mengadukan persengketaan kepadaku.
Bisa jadi sebagian darimu lebih pandai mengemukakan alasan daripada yang
lainnya, lalu aku memutuskan untuknya seperti yang aku dengar darinya. Maka
barangsiapa yang aku berikan kepadanya sesuatu yang menjadi hak saudaranya,
sebenarnya aku telah mengambil sepotong api neraka untuknya." Muttafaq
Alaihi.
Penjelasan :
1) Didalam hadis ini dijelaskan bahwa Rasul
tidak mengetahui hal yang gaib dan perkara-perkara batin kecuali apa yang
diajarkan Allah dan apa yang diberitahukanya kepada beliau, yang didasarkan
dengan sabda beliau, “Sesunguhnya aku hanyalah manusia biasa yang tinggi
seperti yang telah ditetapkan Allah.
2) Diperbolehkan bagi beliau untuk membuat
keputusan hukum dalam berbagai perkara seperti yang juga diperbolehkan bagi
selain beliau. Beliau memutuskan perkara diantara manusia berdasarkan zhahirnya
dan allah lah yang mengetahui segalah rahasia, beliau memutuskan perkara
berdasarkan bukti keterangan, sumpah dan lain sebaganya dari hukum-hukum yang
zhahir, meskipun ada kemungkinan bahwa pada batinya berbeda dengan zhahirnya.
3) Rasul diberi kewajiban memutuskan hukum
berdasarka zhahirnya disertai kemungkinan pemberitahuan allah kepada beliau
tetang yang batin, sehingga beliau membuat keputusan hukum berdasrkan keyakinan
beliau sendiri meski tanpa alasan atau sumpah, agar menjadi teladan dan
ketetapan bagi umat.
4) Disini terkandung hiburan bagi para hakim,
jika nabi saja bisa memperkirakan sesuatu yang tidak benar berdasrkan kekuatan
alasan lawan perkara lalu beliau memberikan kemenagan kepadanya, maka selain
beliau lebih layak lagi untuk melakukan hal yang sama.
5) Para ahli Ushul sepakat bahwa rasul tidak
mengakui suatu kesalahaan dalam hukum. Lalu bagaimana cara mengompromikan antar
ijma’ para ahli ushul dengan hadis ini? Jawabnya menurut An-Nawawi, bahwa pada
dasarnya tidak ada pertentangan anatar keduanya, karena yang dimaksudkan ahli
ushul disini perkaranya yang diputuskan melalui istijihad beliau. Adapun makna
yang disebutkan hadis bahwa jika beliau memutuskan perkara tanpa istijihad
seperti adanya bukti keterangan, maka jika terjadi perbedaan antara zahir dan
batinya, maka keputusan hukum itu tetap benar karena didasarkan kepada
kewajiban yang sudah digariskan yaitu kewajiaban menghadirkan dua orang saksi
umpamanya. Kalaupun dua orang saksi ini merupakan saksi palsu atau semisal
dengan itu, maka kekurangan pada dua saksi tersebut. Lain halnya jika kesalhan
itu dalam istijihad, bahwa apa yang diputuskan ini bukan merupakan keputusan
hukum syariat.
6) Keputusan hakim tidak didasarkan kepada
alasan dalam batin dan tidak dapat menghalalkan sesuatu yang sudah jelas
keharamanya. Ini merupakan pendapat jumrur ulama dan fuqaha di berbagai
wilayah, dinatarnya tiga imam, malik, syafi’i, dan ahmad. Jika hakim memutuskan
seorang istri bagi seorang laki-laki, padahal dia tau bahwa wanita itubukan
istrinya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Atau dia memutuskan suatu harta
menjadi milik seseorang, padahal dia tahu bahwa orang tersebut dusta dalam
pengakuanya. Yang demikian juga tidak diperbolehkan.
7) Pembatasan dengan orang muslim didalam
hadis ini didasrkan kepada kebiasaan terjadi. Jika tidak, maka hal itu juga berlaku
bagi Ahli dzimmah dan orang non-muslim yang mengikat perjanjian dengan orang
islam.
8) Sabda beliau, “hendaklah dia membawanya
atau meninggalkannya”, terkandung ancaman dan peringatan keras terhadap orang
yang mengambil harta orang lain dengan pengakuan-pengakuan dusta dan
alasan-alasan yang diharamkan. Ungkapan ini mirip dengan firman allah,
“Berbuatlah kalian menurut kehendak kalian.”(Fushshilat: 40).
9) Ibnu Taimiyah berkata: “Jika para sahabat
berkata berdasrkan istijihad mereka, maka mereka membebaskan ketetapan Rasul
dari kesalahan mereka dan kesalaan siapapun selain mereka, seperti yang
dikatakan Ibnu Mas’ud tentang penyerahan kekuasaaan, “aku berkata tetang maslah
ini berdasrkan pendapatku. Jika ia benar, maka itu berasal dari Allah, dan jika
salah, maka itu berasal dari diriku dan dari syetan, sedang allah dan rasulnya
terbebas darinya. “begitu pula yang diriwayatkan dari abu bakar As=Shiddiq
tetang al-kalalah. Begitu yang diriwayatkan dari umar bin Khotob.[27]
2.
Hakim Memutuskan Perkara hanya berdasarkan
pengetahuanya terhadap pribadi pihak yang berpekara
Hadis
Dari Aisyah r.a,
bahwa nabi Saw. Mengirim abu jahm bin hudzifah sebagai amil (shadaqah), lalu
ada seorang lelaki yang mengalihkan dalam shadaqahnya, lalu dipukulnya oleh Abu
Jaham hingga luka.nkemudian mereka (kaum) datang ketempat nabi Saw., seraya
mengatakan: hukum dia, ya rasululah. Kemudian rasululah bersabda: kalian
mendapat begini-begini. Tetapi kemudian mereka tidak mau menerimanya. Tetapi
Rasululah S.aw. tetap saja menyatakan: “kalian mendapatkan begini dan begini”
lalu mereka mau menerimanya. Kemudian rasululah bersabda: “ sesungguhnya aku
adalah berbicara dengan orang banyak, dan aku juga akan memberitahu kepada
mereka akan kerelaan mu itu.” Mereka menjawab : Ya. Lalu rasululah berkhotbah,
dalam khotbahnya beliau menyatakan: “bahwa orang-orangyang datang kepadaku tadi
bermaksud menuntut hukum, laluk tawarkan kepada mereka begini dan begini, dan
akhirnya mereka menerimannya. Apakah kalian juga mau menerimanya? “mereka
menjawab: tidak mau. Kemudian orang-orang muhajirin bermaksud hendak memukul
mereka. Kemudian mereka di perintahkan rasululah Saw. Untuk menahan diri. Lalu
mereka di panggil rasulullah. Dan diberinya tambahan. Setelah itu beliau
bertanya lagi “apakah kalian mau menerima?” Mereka menjawab: Ya, Mau. Kemudian
rasululah berkhutbah lagi, yang diantara isinya beliau bertanya: “Apakah kalian
mau menerimah?” mereka menjawab: Ya, Mau (Hadis Ini Dikeluarkan Oleh Lima Imam
Kecuali Tirmidzi).[28]
Dan dari jabir, Ia
berkata: Seorang lelaki datang ke Ji’ranah, Sebagai orang baru saja pulang dari
Hunain, sedang dibaju Bilal Ada perak, yang selanjutnya oleh nabi Saw. Diambil
untuk di berikan kepada orang lain. Kemudian si lelaki mengatakan: Ya Muhamad,
berlaku adilah. Maka jawab beliau: “celaka engkau, lalu siapa lagi yang akan
bisanberlaku adil? Sungguh aku akan rugi dan tuna jikaaku tidak bisa berlaku
adil”. Kemudian Umar berkata: Biarkan aku, ya rasululah. Untuk membunuh si
munafiq ini. Lalu rasululah menyanggahnya: “Aku berlindung diri kepada allah,
manusia akan bercerita, bahwa aku membunuh sahabat-sahabatku; sesungguhnya
orang ini dan teman-temannya sama-sama membaca Al-qur’an, tetapi Al-qur’an itu
tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka lepas dari Al-qur’an itu sebagaimana
lepasnya anak panah dari busurnya”. (Hadis Ini Dikeluarkan Oleh Ahmad Dan
Muslim).[29]
Penjelasan
Syarih mengatakan: Para Ahli ilmu berbeda pendapat tentang
masalah bolehnya seorang hakim memutuskan suatu perkara bedasarkan
pengetahuan/pengelihatanya saja. Dalam hal ini imam syafi’i mengatakan:
seandainya tidak ada hakim yang jelek, niscahaya saya berkata, bahwa hakim
boleh memutuskan suatu perkara berdasarkan pengetahuan/pengelihatannya.
Syarih berkata: Hadis Aisyah ini semata-mata menceritakan
peristiwa yang dialami oleh nabi Saw, yaitu terjadinya kerelaan (menerima ganti
rugi) dari orang-orang yang menuntut hukuman. Jika tidak adanya tindakan hukum
oleh rasululah Saw. Kepada mereka lantaran penerimaan mereka pada pertama
kalinya, itu dijadikan alasan, niscahaya disitu tidak perlu adanya lagi
permintaan hukum atas mereka. Begitu juga hadis jabir, tidaklah menunjukan
adanya tuntutan.
Selanjutnya syarih mengatakan: Tidak syak lagi, bahwa
seorang hakim dibolehkan memutuskan suatu perkara hukum berdasarkan pengetahuan/
pengelihatannya, karena kesaksian dua orang saksi itu tidak sampai ketingkat
pengetahuan yang betul-betul diperoleh dari kesaksiannya itu.
Imam Bukhairi mengatakan: Bab “orang yang berpendapat,
bahwa seorang hakim boleh memutuskan perkara hukum berdasrkan pengetahunnya
tentang urusan manusia, jika ia tidak kuatir keputusannya itu hanya sekedar
sangkaan dan tuduhaan, karena Nabi Saw, bersabda kepada hindun:
Artinya: Ambilah
olehmu apa yang kiranya cukup bagimu dan bagi anakmu (dari harta Abu sufyan)
dengan cara yang baik.”
Ini kalau perkara itu adalah persolalan yang sudah masyur.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: Dengan menunjuk pendapat Abu Hanifh dan
orang-orang yang sependirian dengannya. Bahwa seorang hakim boleh memutuskan
suatu perkara hukum tentang hak-hak mansuia berdasar pengatuhuan/
penglihatanya. Tetapi dia tidak boleh memutuskan suatu perkara yang menyangkut
hak-hak allah dengan pengetahuan/ pengelihatnya sendiri, misalnya tentang
masalah hudud. Karena masalah hudud
ini didasarkan atas kelapangan.
Sementera al-Karabisi mengatakan: Menurut pendapat saya,
bahwa syarat dibolehkannya seorang hakim memutuskan perkara hukum bedasarkan
pengetahunnya itu haruslah si hakim
tersebut sudah dikenal dengan melakukan perbuatan yang dapat menjatuhkan
martabat dan tidak pernah dihukum, yakni hal-hal yang menyebabkan ketaqwanya
itu masi tetap ada, sedangkan hal-hal yang menyebabkan dia dituduh yang
bukan-bukan itu tidak ada.[30]
P. Hukuman Mati
1. Perbuatan yang diancam dengan hukuman Mati
Hadis
عَنْ
اِبْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( لَا يَحِلُّ دَمُ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ; يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ,
وَأَنِّي رَسُولُ اَللَّهِ, إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: اَلثَّيِّبُ اَلزَّانِي,
وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ, وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ; اَلْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Ibnu Mas'ud
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa aku adalah Utusan Allah, kecuali salah satu dari tiga orang:
janda yang berzina, pembunuh orang dan orang yang meninggalkan agamanya
berpisah dari jama'ah." Muttafaq Alaihi.[31]
2. Qishash
Hadis
وَعَنْ
أَنَسٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلرُّبَيِّعَ بِنْتَ اَلنَّضْرِ -عَمَّتَهُ- كَسَرَتْ
ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ, فَطَلَبُوا إِلَيْهَا اَلْعَفْوَ, فَأَبَوْا, فَعَرَضُوا
اَلْأَرْشَ, فَأَبَوْا, فَأَتَوْا رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبَوْا
إِلَّا اَلْقِصَاصَ, فَأَمَرَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِالْقِصَاصِ,
فَقَالَ أَنَسُ بْنُ اَلنَّضْرِ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ
اَلرُّبَيِّعِ? لَا, وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ, لَا تُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا,
فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا أَنَسُ! كِتَابُ اَللَّهِ:
اَلْقِصَاصُ فَرَضِيَ اَلْقَوْمُ, فَعَفَوْا, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله
عليه وسلم : إِنَّ مِنْ عِبَادِ اَللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اَللَّهِ
لَأَبَرَّهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ [32]
Dari Anas bahwa
Rubayyi' Bintu Nadlar -saudara perempuan ayahnya- telah meretakkan gigi depan
seorang gadis. Lalu mereka meminta ampun, namun keluarga gadis menolak.
Kemudian mereka menawarkan denda dan mereka tetap menolak kecuali qishash. Anas
Ibnu Nadhlar berkata: Wahai Rasulullah, apakah gigi depan Rubayyi' diretakkan?
Tidak, demi (Tuhan) yang telah mengutusmu dengan kebenaran, gigi depannya tidak
akan diretakkan. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Wahai Anas, Kitabullah memerintahkan qishash." Maka relalah keluarga
gadis dan mereka memberikan ampunan. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Sesungguhnya di antara hamba Allah itu ada yang
bersumpah dengan nama Allah, ia akan melaksanakannya." Muttafaq Alaihi dan
lafadznya menurut Bukhari.
Q. Jihad
Hadis
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَ ضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ,
وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ, مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ )
رَوَاهُ مُسْلِمٌ [33]
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mati, sedang ia
tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk jihad, ia mati dalam
satu cabang kemunafikan." Muttafaq Alaihi.
Penjelasan:
Hadis ini memberikan suatu hal yang penting, bagaimana
seorang muslim itu harus berjihad, jihad dalam hal disini adalah jihad sesuai
dengan kemampuan, kalau guru dengan penjelasan yang benar, kalau mahasiswa
belajar yang giat dan lain sebagainya, dalam hadis ini apabila seseorang tidak
mau atau tidak mempunyai keinginan untuk berjihad maka ia mati dalam kemunafikan,
ini merupakan kecaman rasululah bahwa profesi apapun kita, tetap jihad sesuai
dengan kemampuan kita, bila tidak mau melakukan itu maka kita termasuk cabang
kemunafikan. Banyak sekali orang yang mengaku islam tapi tidak mau berjihad
sesuai dengan kemampuan dia, jihad disini tidak harus perang, tapi jihad ini
harus disesuaikan dengan keadaan yang ada bila keadaan yang wajib kita untuk
jihad maka itu yang harus ditegakan, tapi kalau kondisi itu yang tidak untuk
berjihad perang, maka ada hal yang kita gunakan untuk jihad tersebut yaitu
jihad dengan pemikiran sesuai profesi perkerjaan kita.
R. Kepemimpinan
1. Suksesi
Hadis
Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: “Saya berada
di dekat ayah saya (umar bin khotob), ketika beliau mendapat cobaan (ditikam
oleh seorang yahudi). Mereka yang hadir memuji beliau dan mengucapkan “semoga
allah memberi anda balasan yang baik”. Ayah saya berkata “Memang harus ada yang
mengharapkan dan ada pula yang takut”. Mereka berkata: “tunjukanlah seorang
khalifa atau penganti anda”. Ayah saya berkata: “Kamu bebankan perkara kamu
kepada orang yang masih hidup ataukah orang yang sudah mati? Saya lebih suka
untuk menahan diri saja. Kalau saya menunjuk seorang Khalifa. Saya kira hal itu
pernah dilakukan seorang yang lebih baik dari pada saya yaitu (Abu bakar). Dan
kalau saya biarkan saja, maka hal itu juga sudah pernah dilakukan oleh
seseorang yang lebih baik dari pada saya, yaitu Rasulullah”. Kata Abdullah:
“Maka taulah saya, ketia Umar menyebut Rasullulah sw, bahwa beliau tidak
menunjuk penggantinya (sebagai kepalah pemerintahan)”.[34]
Dari abdullah bin Amr r.a., bahwa Nabi Saw.
Bersabda:” tidak halal bagi tiga orang yang berada dalam sebuah perjalanan di
bumi ini, melainkan mereka harus mengangkat seorang diantara mereka itu sebagai
kepala (amir).” (Hadis Ini Dikeluarkan Oleh Ahmad).[35]
Dan dari Abu Sa’id, Bahwa Rasululah Saw.
Bersabda:”Apabilah ada tiga orang yang keluar dalam suatu berpergian, maka
hendaklah mereka mengangkat salah seorang diantara mereka itu sebagai kepala
(amir).” (Hadis Ini Dikeluarkan Oleh Abu Daud.[36]
Penjelasan:
Syaukani Berkata
: Hadis diatas menunjukan, bahwa setiap rombongan yang terdiri dari tiga orang
atau lebih diserukan untuk mengangkat seorang diantara mereka sebagai kepala
(kepala Rombongan), demi menghindari pertentangan. Selanjutnya ia pun berkata:
lebih-lebih bagi sejumlah orang yang berdiam disebuah desa atau kota, adalah
sangat perlu memilih seseorang kepala untuk mencegah kemungkinan terjadinya
kelaliman (dari orang / kelompok lain) dan buat memecahkan setiap kasus
persengketaan yang terjadi diantara mereka.[37]
2. Larangan meminta jabatan
Hadis
Dan dari abur Rahman bin samura, ia berkata
: rasululah Saw, pernah memperingatkan aku sbb: “hai abdur Rahman bin Samura,
janganlah engkau minta menjadi pemimpin, sebab sesunguhnya jika engkau
diberinya tanpa meminta, maka engkau akan dibantu (allah), tetapi jika
engkaudiberinya tanpa meminta, maka engkau akan dibebaninya (sendiri). (Hadis
ini dikeluarkan oleh Ahmad, Bukhairi, Dan Muslim)[38]
Dari anas, ia berkata: Rasululah Saw.
Bersabda: “Barangsiapa minta menjadi pemimpin, maka dirinya akan dibebani
sendiri dan barangsiapa yang diberi tugas, maka akan ada malaikat yang turun
untuk membantu.” (Hadis ini dikeluarkan oleh Lima Imam, Kecuali Nasa’i) [39]
Penjelasan
Antara hadis
Anas dan Hadis Abdur Rahman Diatas menerangkan, bahwa orang yang diserahi
kepemimpinan umat tanpa minta akan di beri pertolongan tetapi tidak ada
malaikat yang meluruskannya. Sedangkan hadis Anas menerangkan, bahwa orang yang
dipilih menjadi pemimpin umat akan ada malaikat yang turun untuk meluruskannya.[40]
S. Pergaulan Bebas
3. Larangan Berdua-duaan
Hadis
ﻭﻋﻧﻪ
ﺮﺿﻰ
ﺍﻠﻠﻪ
ﻋﻧﻪ
ﻘﺎﻝ
ﺴﻤﻌﺖ ﺮﺴﻭﻝ ﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻰ ﺍﻠﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻢ ﻴﺨﻄﺐ ﻴﻘﻭﻝ : ﻻ ﻴﺨﻠﻭﻦ ﺮﺟﻝ ﺍﻻ ﻤﻬﺎ ﺬﻭ ﻤﺤﺮﻢ ﻭﻻ ﺘﺴﺎﻔﺮ ﺍﻠﻤﺮﺃﺓ ﺇﻻ ﻤﻊ ﺫﻯ ﻤﺤﺮﻢ ﻔﻘﺎﻢ ﺮﺠﻝ ﻴﺎ ﺮﺴﻮﻞ ﺍﻟﻟﻪ ﺇﻥ ﺍﻤﺮﺃﺗﻰ ﺧﺮﺠﺖ ﺤﺎﺠﺔ ﻭﺇﻧﻰ ﺍﻜﺗﺗﺑﺖ ﻔﻰ ﻏﺯﻭﺓ ﻜﺫﺍ ﻭﻜﺫﺍ ﻔﻘﺎﻞ ﺍﻧﻄﻠﻕ ﻤﻊ ﺍﻣﺮﺃﺗﻙ , ﻤﺗﻔﻕﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻠﻠﻔﻅ ﺍﻠﻤﺴﻠﻢ.
“Dari
Ibn Abbas, Ia berkata : “ Saya mendengar Rasulullah SAW berkhutbah : Janganlah
seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali bersama mereka ada
mahramnya. Dan jangan pula musafir seorang perempuan kecuali disertai
mahramnya. Seorang sahabat berdiri lalu berkata : Ya Rasulullah, istri saya
keluar untuk melaksanakan haji, sementara saya telah mendaftarkan diri untuk
berperang. Nabi bersabda : Berangkatlah bersama istrimu untuk melaksanakan
haji.”
Penjelasan
Didalam Islam dilarang keras seorang
laki-laki berduaan dengan perempuan tanpa adanya mahram dari si perempuan, dan
fakta inilah yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah yang kami kutip diatas.
Larangan ber-khalwat dengan perempuan diberlakukan oleh syariat
tujuannya tidak lain adalah sebagai usaha preventif terjadinya perzinahan,
karena berduaan dengan perempuan dapat memebangkitkan syahwat, dan syahwat
merupakan pintu gerbang utama menuju terjadinya dosa besar seperti zina.
Padahal Allah SWT telah melarang manusia untuk mendekati zina lebih-lebih
melakukannya, dan ber-khalwat dengan perempuan termasuk kepada perbuatan
yang mendekati zina. Firman Allah SWT didalam Alquran :
wur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
Dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang
buruk. (Al-Israa’ : 32)
4. Pergaulan Dalam Keluarga
Hadis
أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال : إياكم والدخول على النساء. فقال رجل من الأنصار :
يارسول الله ! أفرأيت الحمو؟ قال : الحموالموت
“Dari Uqbah bin Amir, bahwa rasulullah saw. Bersabda: “Hindarilah diri
kalian dari masuk menemui wanita”. Seorang sahabat Anshar bertanya: “Ya
Rasulullah, bagaimana kalau Ipar?”. Rasulullah saw. Bersabdah: “Ipar itu maut
(lebih menghawatirkan)”.[41]
Penjelasan
Nabi menerangkan bahwa kerabat-kerabat si suami
menjumpai si isteri itu sama dengan menjumpai kematian, karena menyendiri dalam
sebuah kamar memudahkan timbul nafsu jahat yang membawa pada kemurkaan Allah
dan membawa kepada kebinasaan, atau menyebabkan si suami menceraikan isterinya
jika sang suami pencemburu. Jelasnya, takut kepada mudah timbul kejahatan dari
kerabat-kerabat itu adalah lebih mudah daripada yang dilakukan oleh yang bukan
kerabat. Karena kerabat itu lebih leluasa masuk ke dalam bilik-bilik si
perempuan dengan tidak menimbulkan prasangka yang tidak-tidak. Mengingat hal
ini lebih perlu dihindari masuk ke dalam bilik tidur orang lain. Dikarenakan
jika kita berada dalam satu bilik dengan seorang perempuan yang bukan mahram,
dikhawatirkan kita terjembak untuk mengikuti hawa nafsu. Apabila seseorang
bergerak mengikutinya meskipun hanya selangkah, ia akan terpaksa untuk
mengikuti langkah itu dengan langkah berikutnya.
T. Pornografi Dan Pornoaksi
1. Batasan Aurat
Hadis
يَا أَسْمَاءُ
إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا
إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
“Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika
telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil
menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”(HR. Muslim)
Penjelasan
Menurut Imam Thabariy, makna yang lebih tepat
untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah
aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan
telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki
asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah
riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk
ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling
seraya berkata; (seperti tertera hadis diatas).[42]
[2]
Naitul Athar, Jilid 4, h. 607.
[3]
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, op.cit., Hadis No.1156
[4] Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar
Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil
Ahkaam, Hadis
No.1154.
[5]
Naitul Athar, Jilid 4, h. 612.
[6]
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1158.
[7]
Naitul Athar, h. 620.
[8]
Abdullah bin abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Syarah Hadist Pilihan Bukhairi-Muslim, Terjemahaan: Kathur Suhardi,
(Jakarta: Darul-Falah, 2002), H.949-950.
[9]
Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, ‘Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm’,
Jilid. VI, Hadis Nomor. 1159
[10]
Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, ‘Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm’,
Jilid. VI, Hadis N0.1157
[11]
Naitul Athar, Jilid 4, h.608.
[12]
Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, ‘Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm’,
jld. VI, hal. 162-166 dan hadis No. 1175
[13]
Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis Nomor 1174.
[14]
Naitul Athar, Jilid 4, h.631-632.
[15]
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1177
[16]
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1179
[17]
Naitul Athar, Jilid 4, h. 648-649.
[18]
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1165
[19]
Naitul Athar, Jilid 4, h. 614-615.
[20]Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1167
[21]
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1168
[22]Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1169
[23]
Naitul Athar, Jilid 4, h. 637.
[24]Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1172
[25]
Naitul Athar, Jilid 4,
h.646-647.
[26]
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.1160
[27]
Abdullah bin abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Syarah Hadist Pilihan Bukhairi-Muslim, Terjemahaan: Kathur Suhardi,
(Jakarta: Darul-Falah, 2002), h.947-949.
[28]
Naitul Athar, Hadis Nomor.4994.
[29]
Ibid, Hadis No.4995
[30]
Ibid, h.634-635
[31]
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis
No.950.
[32]
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadis No.962.
[33]
Al-Hafizh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam, Hadits No. 1285
[34]Imam
Muslim Alih Bahasa Achmad Sunarto, Terjemahaan
Hadist Shahih Muslim, (Bandung : Husaini, 2001) Nomor Hadis 1052, h.643.
[35]
Naitul Athar Jilid 4, Hadis Nomor. 4936.
[36]
Naitul Athar Jilid 4, Hadis Nomor. 4937.
[37]
Nailtul AtharJilid 4, h.600-601
[38]
Naitul Athar Jilid 4, Hadis Nomor. 4940.
[39]
Ibid, Hadis Nomor.4941
[40]
Ibid, h.603
[41]
Hadis ini Dikeluarkan Oleh Imam Muslim, Terjemahaan
Shahih Muslim, Hadis Nomor 1432. H. 935.
[42]
Imam Thabariy dalam Tafsir
al-Thabariy, juz 18/118